(Refleksi 7 tahun pelaksanaan otonomi daerah)
Oleh : Romi Siska Putra
Oleh : Romi Siska Putra
Asumsi dasar para akademisi, aktivis gerakan sosial maupun mahasiswa waktu itu adalah sentralisasi yang diterapkan orde baru mematikan peran-peran daerah dalam mengatur daerahnya. Pada titik ekstrim, ketika ruang-ruang demokrasi tidak diberikan celah sedikit pun oleh pemerintahan pusat kepada daerah, bahkan didominasi untuk kepentingan pemerintahan pusat beserta elitnya. Akhirnya, desakan desentralisasi datang bak seperti ”Tsunami” untuk mencari ruang kosong yang luas. Momentum itu terjadi ketika reformasi bergulir seiiring dengan jatuhnya rezim orde baru. Babak baru pun dimulai, agenda otonomi daerah menjadi salah satu agenda yang harus dituntaskan.
Waktu pun terus berjalan, sudah 6 tahun otonomi daerah berjalan. Banyak catatan yang harus dijadikan evaluasi karena ini adalah kesempatan emas bagi daerah untuk membangun daerahnya. Tulisan ini hanya mengelaborasi dari salah satu persepktif saja yaitu bagaimana pelaksanaan pelayanan publik di daerah kabupaten/kota selama ini. Menganalisa pelaksanaan otonomi daerah tentu saja bisa menggunakan berbagai macam cara pandang/perspektif karena memang otonomi daerah masih banyak menceritakan persoalan. Relasi pemerintahan pusat dengan daerah menjadi salah satu issu yang tak kunjung selesai diperdebatkan, belum lagi ketidakjelasan wewenang antara pusat-daerah dalam pengelolaan sumber daya alam yang ada di daerah, misal pertanahan, pelabuhan, pertambangan, pengelolaan hutan, dan sebagainya.
Oleh karena itu, perspektif yang digunakan dalam tulisan ini lebih difokuskan pada fungsi pemerintahan daerah dalam optimalisasi pelayanan publik dalam mengelola dan menyelesaikan problem sosial yang ada di daerahnya.
Diawali dengan krisis moneter tahun 1998, beruntun dengan kebijakan kenaikan BBM dan TDL tiap tahunnya semakin memperparah kondisi masyarakat di daerah. Belum lagi kebijakan yang pro-pemodal lainnya yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, sebut saja UU Penanaman Modal yang menguntungkan para investor asing maupun lokal. Berbagai macam problem sosial justru dituai oleh daerah, meningkatnya angka kemiskinan dengan berbagai fenomena seperti rendahnya tingkat kesehatan masyarakat, pendidikan yang hanya dinikmati oleh orang kaya, busung lapar, perumahan yang tidak layak huni, dan sebagainya. Kondisi ini dapat disimpulkan bahwa betapa kompleksnya problem sosial yang terjadi di daerah. Beban begitu besar bagi daerah untuk menyelesaikan problem sosial ini tentu saja bukan persoalan gampang, dibutuhkan kerja keras dari seluruh stakeholder baik pemerintah daerah, DPRD, tokoh masyarakat, swasta maupun civil society sendiri.
Keberadaan kabupaten/kota yang tersebar di Indonesia tidak banyak yang berhasil menyelesaikan problem sosial yang kompleks itu. Wewenang birokrasi yang sudah menjadi milik daerah pun belum optimal digunakan, kehadiran DPRD sebagai lembaga aspirasi masyarakat pun juga tidak banyak yang menceritakan cerita-cerita indah keberpihakan pada masyarakat miskin. Fenomena konflik antara legislatif-eksekutif di daerah justru makin fenomenal, yang dirugikan tentu saja masyarakat. Pada sisi lain, kemiskinan semakin menyebar, yang memberikan efek domino yang luar biasa. Kebijakan pemerintahan pusat seperti P2KP belum signifikans, Bantuan Langsung Tunai (BLT) dianggap oleh daerah gatot kaca –alias gagal total kacau dan cau-. Dari banyak daerah yang ada, hanya beberapa daerah yang dianggap berhasil melakukan inovasi untuk mengurangi persoalan kemiskinan selama ini. Anggap saja ini seklumit cerita di tengah-tengah kegagalan daerah dalam menyelesaikan problem sosial yang ada di daerah-daerahnya.
Kepala Daerah dan Daerah "Budiman"
Istilah daerah "Budiman" pertama kali dilontarkan oleh Sutoro Eko –direktur Institute Research Empowering (IRE) Yogyakarta-, untuk menyebutkan daerah-daerah yang dianggap royal dalam mengeluarkan program-program inovatif untuk masyarakat miskin. award untuk daerah "Budiman" faktanya tidak bisa dilepaskan dari inisiasi dari sang kepala daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah selama ini meninggalkan cerita yang mengkhawatirkan ketika sistem yang ada, sebut saja birokrasi, DPRD justru seperti macam ompong dalam memperjuangkan inisiasi-inisiasi program maupun regulasi yang berpihak pada masyarakat miskin, justru inisiasi itu berasal dari kepala daerah. Berikut ini beberapa cerita tentang daerah "Budiman" yang menurut penulis pantas untuk diapresiasi dan menjadi sumber inspirasi oleh daerah lain.
Pertama, Kabupaten Purbalingga di jawa tengah, sang Bupati Triyono Budi Sasongko dianggap berhasil melahirkan berbagai macam inovasi kebijakan yang berorientasi pada masyarakat miskin, seperti program stimulan pemugaran rumah keluarga miskin (PSPR-Gakin), padat karya pangan (PKP) dengan menggunakan sistem mandiri berhasil mengurangi jumlah pengangguran, Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat dengan subsidi silang antara si kaya dan si miskin. kebijakan ini tentu saja menyedot belanja sosial yang besar dari APBD, tetapi ini bukankah lebih baik dibanding program-program mercusuar yang kadang belum penting itu.
Kedua, Kutai Timur di Kalimantan Timut. Kabupaten yang di kepalai oleh Awang Faroek itu berhasil mengoptimal program Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan tambang di Kutai timur. Pengelolaan perusahaan tambang yang ada di kutai timur menjadikan APBD bertambah besar sehingga belanja sosial untuk pengentasan kemiskinan pun berjalan. Kebijakan ini berbuah dengan penghargaan Social Empowerment Award dari Menkokesra kepada sang kepala daerah pada tahun 2007 yang lalu.
Ketiga, kabupaten Boalemo di Gorontalo. Sang kepala daerah Iwan Bokings juga tidak kalah dengan yang kepada daerah sebelum ini. keberhasilannya dalam memunculkan program peningkatan kesejahteraan pendidikan, dan kesehatan untuk rakyat miskin menjadi prestasi tersendiri dalam perjalanan pemerintahannya.
Keempat, kabupaten Jembrana di Bali. Kabupaten ini menjadi referensi dalam pelaksanaan otonomi daerah selama ini. dengan PAD tergolong miskin dibanding daerah yang lain tapi justru berhasil mengeluarkan program pendidikan, kesehatan, pembuatan KTP dan akta kelahiran secara gratis. Lagi-lagi peran sentral dipegang kendali oleh sang kepala daerah.
Ini adalah seklumit catatan fenemonal dari pelaksanaan otonomi daerah selama ini, tapi jika dibandingkan dengan masih banyaknya daerah yang masih “enggan” untuk mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada kepentingan masyarakat (miskin). Kondisi ini harus menjadi catatan kritis di era otonomi daerah ini sehingga kita tidak terjebak dengan euforia reformasi belaka maupun euforia bebas dari orde baru (sentralisasi)
Oleh karena itu, sudah saatnya ada upaya yang berani untuk melakukan revitalisasi pelayanan publik dan fungsi-fungsi dari parlemen yang ada di daerah. Revitalisasi bukan wacana, apalagi retorika, tapi ia adalah pelaksanaan dari kata-kata.
Akhirnya, bukan persoalan daerah kaya atau tidak tapi siapa yang memiliki kemauan dan keberanian.