Jumat, 12 September 2008

Menggagas Masa Depan Indonesia dalam Perspektif Anak Muda


Oleh : Romi Siska Putra, M.Si

(Ditulis ulang dari diskusi publik Forum Pemimpin Muda Indonesia Yogyakarta)


Tanggal 8 September 2008 yang lalu, saya mo-moderatori diskusi publik yang bertemakan Menggagas Masa Depan Indonesia dalam mewujudkan Clean Government di UC UGM Yogyakarta. Bagi saya forum ini menarik karena dua hal, pertama, diskusi ini menghadirkan para pembicara anak-anak muda dan tentu saja dengan perspektif khas anak muda, radikal dan orisinil. Setidaknya begitulah harapan awal dari diskusi ini. kedua, forum difasilitasi juga oleh anak-anak muda yang memiliki kepedulian untuk menghadirkan perspektif baru dalam membangun negeri ini, ketika hegemoni orang-orang tua yang sudah terlalu nyaman dengan kemapanannya. Para pembicara tersebut adalah Deni Indrayana, Ph.D dari perspektif hukum, yang baru-baru ini diangkat sebagai staf khusus Presiden Bidang Hukum. Berikutnya ada Prof. Mudrajat Kuncoro, ekonom dari UGM, yang umurnya juga relative muda yaitu dibawah 45 tahun. Yang agak bikin iri, Profesor dari UI yang satu ini, yaitu Prof. Eko Prasojo sebagai representasi dari perspektif Politik. Professor lulusan Jerman ini, baru berumur 38 tahun. Sedangkan yang terakhir adalah Elan Satriawan, Ph.D, juga ekonom dari UGM. Doktor yang baru pulang dari Australia ini juga masih sangat muda, sekitar 36 tahun.
Berikut ini tidak ada salahnya saya ingin menyampaikan beberapa garis besar tentang gagasan-gagasan mereka tentang masa depan bangsa ini, yaitu :


Prof. Eko Prasojo tentang Indonesia dari perspektif politik
Mas Eko (mungkin panggilan ini yang tepat untuk beliau, maklum masih sangat muda untuk seorang Profesor), mengelobarasi dari berbagai aspek, setidaknya ada beberapa hal, yaitu Kepemimpinan nasional, ketata negaraan, system politik, birokrasi dan penegakan hukum.
Pertama, konsep kepemimpinan yang beliau maksud menarik untuk disimak. Untuk memulainya, beliau berangkat dari konsep sebuah perubahan. Bagi beliau ada dua hal yang harus dikemukakan dalam hal ini, yaitu change dan reform. Change dan reform adalah persoalan yang berbeda, change adalah pola perubahan yang dibentuk sebagai reaksi terhadap lingkungan atau realitas yang ada bahkan sangat tergantung padanya, akan tetapi reform adalah proses rekayasa terhadap lingkungan terhadap realitas yang ada dan tidak semata bersifat reaksioner, justru didalamnya ada agenda setting perubahan yang terarah. Kepemimpinan yang dibangun diatas sebuah agenda setting yang jelas dan terarah. Beliau mencontohkan bahwa keberhasilan China dan India yang mulai tampil sebagai raksasa ekonomi dunia karena dibangun diatas kepemimpinan yang reform.
Kedua, reformasi system politik. Bagi Mas Eko, ketidakjelasan system politik yang dibangun menjadikan negara ini sulit akan menemukan bentuk idealnya seperti apa. Beliau menyebutkan, bagaimana penyederhanaan partai politik hanya menjadi omong kosong belaka. Bahkan besaran Parliement Threshold dan Electoral Threshold sebagai pintu masuk untuk penyederhaan jumlah parpol, ternyata penuh dengan kompromi para elit politik yang ada di parlemen dan parpol. Pada sisi lain, Mas Eko mengkhawatirkan kondisi parpol saat ini, yang dianggap tidak memiliki identitas (tanpa ideology dan kaderisasi yang kuat).
Ketiga, birokrasi. Birokrasi selama orde baru, menurut Mas Eko dianggap menjadi salah satu alasan sulitnya birokrasi bisa diperbaiki dalam waktu yang realtif singkat. Masa 20 tahun birokrasi dibawah orde baru, dijadikan sebagai alat politik bagi rezim. Sehingga menurut Mas Eko, butuh waktu yang lebih lama dari itu untuk menjadikan birokrasi ini sebagai penopang kinerja pemerintah yang berkuasa. Saat ini, birokrasi masih menjadi bagian dari kepentingan parpol yang berkuasa. Kondisi seperti ini, tentu saja sangat sulit bagi birokrasi ini menjadi pilar negara untuk melakukan fungsi-fungsi sebagai pelayan publik. Namun, Mas Eko, tetap optimis untuk memperbaiki birokrasi yang sudah ada selama ini. catatan pentingnya adalah strategisnya posisi sang pucuk pimpinan. Dalam konteks otonomi daerah, beliau mencontohkan keberhasilan beberapa daerah menjadikan birokrasi sebagai pelayan publik dengan baik. Salah satu kuncinya adalah kuatnya karakter kepemimpinan lokal yang dibangun. Beliau menyebutkan Pak Untung (Kepala Daerah Kabupaten Sragen), Fadel Muhammad di Provinsi Gorontalo, I Gede Winarsa di Kabupaten Jembrana), dan lain sebagainya.
Keempat, penegakan hukum. Mas Eko sangat menggaris bawahi bagaimana terjadinya korupsi yang beliau sebut dengan political corruption. Political corruption adalah korupsi yang dilakukan dalam konteks proses politik, dimana regulasi yang dihasilkan memang di-setting untuk kepentingan beberapa kelompok orang (kekuatan politik tertentu). Kondisi ini sangat membahayakan apabila dibiarkan terus menerus. Oleh karena itu, penegakan hukum menjadi sangat penting untuk dilakukan. Namun, ternyata bagi Mas Eko, adalagi yang membahayakan yaitu ketika yang melakukan korupsi justru para penegak hukum sendiri. Baginya, walaupun politik kacau dan ekonomi amburadul, akan tetapi selama penegak hukum masih baik, maka akan tetap lebih baik dibanding lahirnya para mafia peradilan.
Dari paparan yang cukup panjang ini, maka setidaknya ada beberapa hal tawaran gagasan dari Mas Eko, yaitu : de-kooptasi birokrasi dari parpol, restrukturisasi kelembagaan pemerintahan, profesionalisasi dan modernisasi birokrasi, perubahan relasi pemerintah dan masyarakat, dan terakhir perlunya revitalisasi demokrasi.
Setelah Mas Eko, berikutnya dari perspektif hukum yang diwakili oleh Denny Indrayana, Ph.D. Bang Denny begitu kami para aktivis memanggilnya dianggap mewakili anak-anak muda yang memiliki perpspektif ke-Indonesia-an dalam konteks hukum. Bang Denny memulai dengan tiga faktor penting dalam konteks hukum, yaitu struktur hukum, kultur hukum, dan substansi hukum. Nah, yang menjadi persoalan krusial saat ini adalah kultur hukum atau beliau menyebutnya dengan istilah hati para penegak hukum. Beliau mengkritisi bagaimana mungkin seorang hakim justru yang melakukan tindakan korupsi. Kasus Urip Tri Gunawan misalnya. Menurutnya Urip hanyalah operator, artinya banyak orang-orang yang diatasnya justru menjadi biang dari semua ini. Untuk kasus ini Bang Denny punya cerita menarik :
Salah seorang petinggi hukum di Kejaksaan Agung mengatakan pada beliau “kasus Urip ini merusak citra Kejaksaan Agung, ibarat pepatah nila setitik rusak susu sebelanga”. Kemudian bang Denny menimpali, oh bukan begitu pepatah yang tepat sebenarnya, justru pepatahnya adalah nila sebelanga merusak susu setitik. (ha..ha..para peserta diskusi tertawa riuh memekakkan telinga).
Beliau melanjutkan bahwa ia meyakini betul bahwa adanya mafia peradilan di lembaga penegak hukum republic ini. Oleh karena itu, KPK harus serius menangani kasus mafia peradilan ini. kemudian, menyikapi pemberantasan hukum yang seakan-akan tebang pilih, misalnya tidak terjangkaunya orang-orang terdekat SBY oleh jeratan hukum. Bang Denny, mengutip cerita ketika salah seorang sahabat memohon kepada Rasulullah untuk mengampuni salah seorang sahabat lain yang melakukan korupsi. Waktu itu Rasulullah menjawab “seandainya Fathimah binti Muhammad yang melakukan korupsi maka aku langsung yang akan memotong tangannya”. Dari shiroh ini, Bang Denny ingin mengatakan bahwa penegakan hukum seharusnya adil bagi siapapun.
Saat ini, menurut survey tahun 2006 dari Tranparency International Indonesia (TII), hakim menampati posisi kedua sebagai lembaga terkorup setelah parlemen. Pada sisi lain, menurut Deny, aktor-aktor utama dalam kasus korupsi besar seperti BLBI, aliran dana BI harus juga ditangkap. “Makanya, saya menjadi staf khusus presiden bidang hukum”, timpalnya. Oleh karena itu, saya harus cari strategi untuk membisikkan Presiden, yang disambut riuh oleh peserta diskusi. Dan beliau siap untuk “memaksa” Presiden untuk menangkap para biang keladinya korupsi tersebut. (Semoga saja…)
Sedangkan Prof. Mundrajat Kuncoro mencermati bagaimana buruknya pengelolaan daerah semenjak otonomi daerah digulirkan. Berbagai korupsi dan pungli masih menghiasi berbagai pelayanan publik selama era otonomi daerah ini. Oleh karena itu, menurut beliau kepemimpinan lokal harus mampu memperbaiki kinerja birokrasi. Beliau mencontohkan berhasilnya kepala daerah Kabupaten Sragen dan Kabupaten Kutai Timur. Persoalan penting yang digarisbawahi oleh Prof. Mudrajat adalah korupsi. Baginya, pemerintah daerah tidak akan mungkin bisa menjadi penyedia pelayanan publik yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat, apabila korupsi berkeliaran di tubuh legislative maupun eksekutif. Lain lagi dengan Dr. Erlan Satriawan, beliau menyoroti bagaimana design kebijakan ekonomi negara ini hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu saja. Sedangkan pada sisi lain, ekonomi informal seperti para PKL justru digusur oleh pemerintah daerah yang berkuasa. Sehingga bagaimana ekonomi mungkin negara ini akan maju, pada satu sisi kebijakan menguntungkan kepentingan kelompok tertentu sedangkan pada sisi lain justru merugikan rakyat kecil. Oleh karena itu, agar perekonomian negara ini menjadi baik, maka kita harus berani untuk mengadopsi kebijakan yang tepat untuk negara ini. Beliau tidak menyebutkan model ekonomi apa yang harus digunakan, neo-liberalisme kah, sosialis-kah, ekonomi kerakyatan-kah. Baginya, semuanya sah-sah saja, walaupun neoliberalisme menjadi monster bagi Indonesia, di Amerika justru berjalan sangat baik, katanya. Tapi yang penting adalah bagaimana Indonesia memiliki fase pembangunan yang terarah, beliau juga menyebutkan bagaimana India dan China saat ini muncul menjadi raksasa ekonomi dunia dan menjadi pesaing berat Amerika Serikat.




UC UGM, 8 September 2008

Minggu, 07 September 2008

Satu Abad Kebangkitan Nasional : Momentum Revitalisasi


Oleh : Romi Siska Putra, M.Si


Pada hari Minggu, 20 Mei 1908, pada pukul sembilan pagi, STOVIA (School tot Opleiding van Inlahdsche Artsen), tempat yang menjadi markas bagi para mahasiswa berdiskusi pada waktu itu, seakan telah ditakdirkan sebagai salah satu bagian terpenting dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Pada kesempatan itu, Soetomo menjelaskan gagasannya. Dia menyatakan bahwa hari depan bangsa dan Tanah Air ada di tangan mereka. Semangat itulah yang memaksa lahir sebuah organisasi yang mereka sebut dengan Boedi Oetomo. Momentum yang kemudian diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Organisasi yang sebenarnya tidak bisa dilepaskan sebagai respons terhadap kondisi bangsa yang dijajah oleh Belanda pada waktu itu.
Tepat tanggal 20 Mei 2008 ini, 100 tahun sudah momentum bersejarah itu diperingati. Waktu 100 tahun bukan waktu yang pendek bagi perjalanan sejarah umat manusia. Waktu yang didalamnya terjadi retorika berbagai macam perubahan. Hal yang penting untuk dimaknai dari kelahiran Budi Utomo adalah representasi dari kecintaan mereka terhadap nasib masa depan negeri ini. Budi Utomo seakan menjadi lokomatif untuk menggerakkan kesadaran politik rakyat Hindia Belanda waktu itu.
Oleh karena itu, 100 tahun Kebangkitan Nasional ini menjadi sangat penting untuk merevitalisasi sense of belong kita terhadap negeri ini. Perasaan yang bisa jadi akan menjadi sangat rumit dalam kesemrawutan kondisi Negara saat ini. Kondisi dimana moralitas politisi kita jauh dari keteladanan, ironis untuk membicarakan keberpihakan pemimpin terhadap rakyatnya. Kondisi dimana pemimpin negeri menjadi antek-antek kepentingan pemodal asing. Negeri yang kaya tapi dikuasai oleh asing. Sungguh berbahaya kondisi saat ini, ketika Negara seakan tidak ada gunanya bagi rakyatnya.
Kebijakan pemerintah seakan tak peduli lagi dengan realitas yang dialami rakyatnya. Rakyat kecil dipaksa untuk menanggung beban Negara, namun para politisi begitu nyaman dengan kemewahan yang dimilikinya. Para koruptor kelas berat seperti BLBI yang merugikan triliunan uang Negara dengan bebasnya menikmati kehidupan mewahnya. Ironis memang. Negeri ini menjadi surga bagi mereka yang berkuasa dan mereka yang mampu bersembunyi dibawah ketiak penguasa. Namun, negeri ini seakan menjadi neraka bagi rakyat jelata, padahal kelahiran penguasa sungguh tidak bisa dilepaskan dari peran rakyat jelata. Belum lagi rakyat gelisah dengan kenaikan harga bahan-bahan pokok, pemerintah justru menaikkan harga BBM. Persoalannya menjadi sangat lucu ketika kebijakan untuk menaikkan BBM ini didalihkan atas nama kepentingan rakyat.
Generasi Muda Revolusioner
Gerakan mahasiswa selalu menjadi harapan bagi setiap negeri. Peran mereka begitu sentral ketika rezim tak pernah lagi memikirkan rakyatnya. Gerakan mahasiswa ’66 berhasil meruntuhkan kegagalan rezim orde lama,. Gerakan mahasiswa ’98 pun juga berhasil menjatuhkan dinasti orde baru. Namun, kondisi menjadi ironis ketika mantan aktivis mahasiswa tersebut berkuasa, ternyata juga tidak menjadi bagian dari solusi dari kesemrawutan negeri, dan tak lebih dari perpanjangan kegagalan rezim sebelumnya. Bahkan lebih parah lagi.
Akhirnya, menjadi sangat penting untuk kembali memikirkan kembali akan lahirnya generasi muda pada masa yang akan datang. Setidaknya ada dua hal yang sangat penting untuk ditumbuhkan pada generasi muda saat ini, yaitu : pertama, Membentuk generasi muda yang memiliki kepribadian politik yang kuat. Kepribadian politik adalah orientasi yang terbentuk dalam diri generasi muda untuk membangun negeri ini. Pada level inilah, pola pengkaderan menjadi sangat penting. Proses indoktrinasi menjadi persoalan yang tidak bisa ditawar. Didalamnya terkonstruksi nilai-nilai kebenaran. Nilai inilah yang akan menjadi ”tembok baja” idealisme bagi generasi muda pada masa yang akan datang. Kepribadian yang akan membentuk imunitas diri terhadap godaan kekuasaan dan materi. Kedua, membangun kesadaran politik pada diri pemuda. Kesadaran ini tidak bisa dilepaskan dari terbentuknya kerpibadian politik. Kesadaran politik itu didalamnya ada berbagai macam kesadaran, yaitu, kesadaran gerakan, kesadaran ideologis, kesadaran akan problematika bangsa dan negara ini.
Dua hal ini sangat penting untuk melahirkan generasi muda yang memiliki mentalitas yang kuat untuk mempertahankan idealismenya. Pengkaderan ini akan melahirkan generasi muda yang revolusioner. Generasi-generasi yang akan menjadi harapan bagi negeri ini. Mereka mengerti bagaimana cara berpihak kepada rakyatnya. Mereka mengerti makna kemandirian sebuah bangsa.
Kebangkitan Nasional dalam Konteks Otonomi Daerah
Walau bagaimana pun, kita saat ini berada dalam era otonomi daerah. Era dimana terjadi desentralisasi kekuasaan, dimana daerah diberikan otoritas yang luas untuk membangun daerahnya. Oleh karena itu, penting untuk memformulasikan semangat kebangkitan nasional dalam konteks otonomi daerah ini.
Ada beberapa formula yang harus dilakukan sebagai bagian dari semangat yang pertama kali dicetuskan oleh Budi Utomo pada 100 tahun yang lalu, yaitu : pertama, revitalisasi peran pemerintah daerah. Walaupun otonomi daerah sudah lama bergulir, ternyata tidak semua harapan yang menjadi kenyataan. Pada satu sisi, otonomi daerah harus diapresiasi sebagai kemajuan bagi perkembangan demokrasi di negeri ini. Namun, pada sisi lain, tidak banyak daerah yang berhasil membuktikan keberpihakannya pada kepentingan rakyat. Tidak sedikit kepala daerah yang menjadi terdakwa tindak korupsi, tidak sedikit para birokrat yang terbukti “merampok” uang rakyat. Fakta ini, seakan membuktikan bahwa kepentingan rakyat tersubstitusi oleh kepentingan segelintir yang memiliki otoritas kekuasaan. Oleh karena itu, revitalisasi peran pemerintahan daerah harus diwujudkan dengan beberapa hal berikut ini, yaitu : menjadikan birokrasi yang melayani kepentingan rakyat, menciptakan anggaran yang berbasis pada kebutuhan rakyat, dan melahirkan kebijakan-kebijakan yang bisa menyelesaikan persoalan rakyat. Pada tataran yang lebih konkrit, misalnya, lahirnya kebijakan pendidikan yang murah dan terjangkau, pelayanan kesehatan gratis, pengentasan kemiskinan dan pengangguran, dan sebagainya.
Kedua, Pilkada, harus menjadi seleksi kepemimpinan yang berpihak kepada kepentingan masyarakat. Kepemimpinan yang bisa menjadi lokomotif untuk menciptakan tata pemerintahan yang baik (good governance), bersih, dan peduli pada nasib rakyatnya. Kepemimpinan yang bersih dari kontaminasi rezim orde baru, kepemimpinan yang terlepas dari kepentingan sekelompok golongan (partai politik, elit pusat, dan semacamnya).
Akhirnya, 100 tahun Kebangkitan Nasional ini harus menjadi momentum yang tepat bagi berbagai elemen bangsa ini untuk merevitalisasi sense of belong terhadap negeri ini. Negeri ini sudah terlalu lelah dengan politisi yang hanya memikirkan kelompok dan dirinya. Negeri sudah bosan dengan pemimpin yang hanya berpihak pada kepentingan asing.
Bangkitlah bangsaku…!!!!

KAMPANYE DAN RE-PUBLIC TRUST

Oleh : Romi Siska Putra, M.Si

Tanggal 12 Juli lalu, masa kampanye resmi dimulai. Hiruk pikuk Pemilu 2009 kian nyata terasa. Tempat – tempat publik akan ramai dengan atribut beserta kader berbagai macam partai politik (parpol). Mulai dari parpol lama sampai dengan parpol baru akan berebut simpati masyarakat. Seperti biasa, parpol akan memasang wajah manis dengan berbagai macam program meyakinkan untuk menarik simpati para pemilih, ujung-ujungnya berharap parpol mereka akan dipilih ketika pemilu nanti. Sesuai dengan prediksi, parpol peserta akan lebih banyak dibanding pemilu 2004 yang lalu. Kalau pemilu yang lalu hanya 24, maka sekarang sampai dengan 34 parpol (16 lama dan 18 baru). Sebuah bentuk tingginya partisipasi politik masyarakat, mungkin.
Sesuai dengan UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, maka kampanye akan dilaksanakan kira-kira sampai dengan 9 bulan, terhitung semenjak 12 Juli hingga minggu tenang, 3 hari sebelum pemungutan suara, tanggal 9 april 2009. Berbagai kecurangan semasa kampanye sepertinya tidak bisa dihindari, toh selama ini tidak berpengaruh apa-apa bagi parpol yang melanggar, alih-lih dapat sanksi. Namun, sepertinya tidak terlalu menarik untuk membahas masalah pelanggaran kampanye ini. Ada sebuah persoalan yang penting untuk kita cermati, yaitu kepercayaan publik (public trust). Berderetnya kasus korupsi yang menimpa para kader parpol membuat masyarakat mulai tidak pernah berharap lagi dengan parpol, inilah persoalannya, dimana kepercayaan publik akan diuji.
Proses Pilkada yang berlangsung di beberapa daerah belakangan ini bisa menjadi cermin untuk melihat partisipasi publik pada pemilu 2009 nanti. Pilkada sebagai acuan pemilu yang akan datang bisa jadi tidak terlalu salah, karena rentang waktunya yang memang tidak terlalu jauh. Oleh karena itu, mari kita lihat beberapa data tentang partisipasi publik pada beberapa Pilkada tersebut, terutama di beberapa daerah yang memiliki penduduk yang cukup besar. Hasil Pilkada yang ada di DKI, Jawa Barat (Jabar), Sumatera Utara (Sumut), dan Jawa tengah (Jateng) menunjukkan data golongan putih (golput) -untuk menyebut pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya- ternyata cukup besar. Bisa kita lihat berikut ini : DKI (39,2%), Jawa Tengah (40%), Jawa Barat (32,6%), Sumatera Utara (41%). Angka ini cukup fantastis karena hampir mencapai separoh dari yang memilih, bahkan dari beberapa Pilkada tersebut, justru pemenang Pilkada kalah oleh golput. Fenomena yang sungguh ironis, dimana kepercayaan publik menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh parpol. Oleh karena itu, penting untuk mempertanyakan apakah kampanye ini akan bisa mengurangi jumlah golput tersebut? Menarik untuk kita nanti.
Di satu sisi, masa kampanye akan menjadi pertaruhan bagi parpol untuk kembali meyakinkan masyarakat. Sedangkan pada sisi lain, KPK sedang semangat-semangatnya membongkar sarang korupsi di DPR RI, yang notabene adalah tempat berkumpulnya kader-kader “terbaik” parpol. Dua kondisi yang paradoks. Apakah ini yang disebut oleh Anthony Giddens sebagai fenomena paradoks demokrasi. sebuah kondisi dimana lembaga-lembaga demokrasi tersingkir pada titik dimana demokrasi justru semakin marak. Kondisi yang menjelaskan, dimana masyarakat disatu sisi antipati dengan lembaga legislative, pada sisi lain parpol –sebagai pilar demokrasi- justru tumbuh kian subur.
Mengembalikan kepercayaan publik, bisakah?
Perilaku elit politik di senayan seakan makin “gila”. Deretan anggota dewan dalam waktu yang berdekatan menjadi tersangka korupsi. Sepertinya elit politik kita lupa, kalau sekarang ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang harus kita akui cukup bekerja dengan baik. Atau mereka memang sudah tak kuasa lagi menghadapi berlimpahnya harta.
Dalam hal ini, kepercayaan publik seakan berada dibawah kangkang dua kaki yang berbeda, yaitu antara kampanye parpol dan buruknya perilaku politisi (senayan). Dua kaki ini akan saling tarik menarik untuk mempengaruhi kepercayaan publik. Pertanyaannya adalah apakah kepercayaan publik ini bisa dikembalikan, sehingga pemilu 2009 nanti benar-benar akan menjadi pesta demokrasi bagi rakyat negeri ini? atau justru demokrasi di negeri ini akan kehilangan substansi, yaitu (kepercayaan) rakyat. Namun, setidaknya ada beberapa skenario yang bisa dilakukan, yaitu : pertama, KPK dengan alasan menghormati tahapan-tahapan Pemilu, sementara waktu menghentikan penyelidikan korupsi terhadap politisi yang ada di senayan. Atau jangan-jangan pertemuan tertutup KPK dengan Komisi III DPR RI yang lalu membicarakan perihal ini. Apabila terjadi pemberhentian penyidikan oleh KPK, maka setidaknya akan menyetop arus informasi yang negative tentang lembaga legislative tersebut. Akan tetapi, skenario ini sepertinya akan mendapat banyak kritikan dari berbagai pihak, apalagi perang terhadap korupsi lagi memasuki musimnya. Kedua, kampanye simpatik parpol dan menyentuh persoalan yang dihadapi oleh rakyat. Skenario ini, kemungkinan besar akan cukup berhasil, karena tipikal masyarakat kita yang memang belum cukup rasional (dewasa) atau mungkin masyarakat kita terlalu cepat lupa dan kadang penuh rasa iba. Oleh karena itu, kampanye ini akan menjadi taruhan bagi parpol. Atau jangan-jangan parpol akan memperburuk suasana menjelang pemilu. Selama ini, tidak sedikit parpol yang berkampanye justru mengganggu kenyamanan publik, melakukan tindakan anarkis, diperparah dengan terjadinya bentrokan fisik antar masing-masing pendukung parpol. Ketiga, pendidikan politik oleh lembaga independent, misal semacam Lembaga Swadaya masyarakat (LSM). Antisipasi semakin menurunnya kepercayaan publik, bisa saja diarahkan dengan mengajak masyarakat untuk tidak memilih parpol yang kadernya sudah terbukti melakukan korupsi (anti politisi busuk, misalnya). Masyarakat harus diyakinkan bahwa pemilu nanti harus dijadikan momentum untuk membersihkan parlemen dari para politisi busuk. Artinya, tetap menjaga masyarakat untuk tetap memiliki harapan sehingga terjadinya perubahan. Keempat, KPU harus bekerja dengan baik. Belakangan ini, KPU mulai diplesetkan dengan Komisi Penundaan Umum. Istilah ini muncul karena KPU melakukan penundaan beberapa jadwal tahapan pemilu, misal Pemilu legislative yang awalnya 5 April 2009 ditunda menjadi 9 April 2009, berikutnya penundaan pengumuman parpol baru yang lolos ikut pemilu 2009, yang awalnya akan diumumkan pada tanggal 7 Juli 2008 jam 21.00, ternyata baru diumumkan beberapa jam kemudian. Kondisi ini, membuat publik mulai ragu dengan kinerja KPU. Oleh karena itu, KPU sebaiknya belajar dari beberapa kasus penundaan ini, karena penundaan ini akan berimplikasi luas pada kelancaran pemilu nanti. KPU harus sudah menyiapkan pola-pola preventif untuk mencegah terjadinya kekacauan pemilu. Di sisi lain, seluruh elemen bangsa harus memberi dukungan pada KPU, karena toh ini adalah kepentingan kita bersama.
Akhirnya, mungkin agak sulit kita berharap kepercayaan publik benar-benar akan kembali seperti yang kita harapkan. Namun, mungkin yang lebih penting saat ini adalah bagaimana kepercayaan publik tidak kian turun jauh. Dalam konteks ini, KPU dan parpol sepertinya menjadi pemain kunci. Seandainya kinerja KPU kian buruk, dan perilaku kader parpol tidak kunjung membaik, maka jangan pernah berharap publik akan tetap percaya.
Bravo pemilu damai…….

Kamis, 04 September 2008

Pilihan Politik Duo Indra



(Catatan harian Bang Romi)





Siapa yang tak kenal Indra Piliang dan Indrayana (Deny Indrayana). Indra Piliang adalah pengamat politik dari CSIS yang terkenal itu. Deny Indrayana adalah pengamat hukum tata negara yang kritis itu.
Indra Piliang. Bukan politisi namanya kalau tidak kenal dengan beliau. Kritikan-kritikan tajamnya akan mengena siapapun, selama itu dianggap “melanggar” nilai-nilai demokrasi. Tulisan-tulisannya di berbagai media cetak nasional menjadi bacaan yang menarik untuk didiskusikan. Ulasannya di media elektronik menjadi referensi bagi orang untuk mengetahui kekuatan politik yang ada. Dulu, ketika Golkar dibawah pimpinan Jusuf Kalla mengenyampingkan model konvensi untuk menyaring calon presiden melalui Golkar, Indra Piliang bilang, Golkar sudah tidak demokratis lagi. Bahkan, beliau berani menyimpulkan bahwa ini adalah bentuk kekhawatiran Jusuf Kalla –untuk tidak mengatakan ketidakpercayaan diri Jusuf Kalla- untuk bertarung dengan calon politisi Golkar yang lainnya. Ini adalah cerita masa lalu, sekarang Indra Piliang memutuskan untuk menjadi politisi. Jangan tanya kritikannya pada Jusuf Kalla, nanti bisa jadi nomor urut buncit, atau malah dipecat. Bagi saya, jabatan politisi, berada satu level dibawah orang yang menjadi pengamat para politisi. Politisi adalah milik kelompok tertentu karena dia mewakili kepentingan kelompok juga, tetapi pengamat politisi dia berdiri secara independent diantara berbagai macam perspektif yang ada alias bukan mewakili kepentingan politik tertentu.
Kembali ke Indra Piliang. Salah sosok dari dua sosok yang dikomparasikan ini, menarik untuk dipergunjingkan. Terutama, tentu saja pilihan politiknya saat ini. Indra Piliang, tidak tanggung-tanggung pilihan politiknya adalah maju menjadi calon anggota legislatif (caleg) Golkar dari salah satu Dapil di Sumatera Barat, tempat kelahirannya. Partai politik yang pernah dikritik abis olehnya, justru siapa sangka sekarang menjadi gerbong politiknya menuju Senayan.
Lain Indra Piliang, lain lagi Indra yang satu ini (Deny Indrayana). Doktor lulusan Australia ini sangat sangar. Tercatat sebagai salah satu Doktor termuda di UGM, dengan menyalip senior-seniornya di fakultas hukum UGM. Beliau muncul sebagai icon pemberantasan korupsi di Indonesia. Seandainya, ada yang ingin membedah tentang prospektif pemberantasan korupsi di Indonesia, maka tidak ada pilihan lain, selain beliau ini. Kehadirannya tidak hanya disegani para oleh pengamat hukum yang mendahuluinya, bahkan ditakuti oleh rezim yang berkuasa dan politisi bersama parpolnya. Komentar-komentar pedasnya membuat rezim dan para politisi elus-elus dada. Begitulah sosok Indra yang satu ini. Di salah satu analisisnya, beliau menjelaskan bahwa ada tiga sarang korupsi di Indonesia, yaitu Istana, Tentara, dan China. Tiga sentrum ini dianggapnya menjadi biang tindakan korupsi yang menghancurkan republik ini.
Pilihan politik Indrayana berbeda dengan Indra Piliang. Indrayana memutuskan untuk menerima tawaran menjadi staf ahli hukum presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Rezim yang selama ini menjadi poros kritikannya, justru saat ini beliau memutuskan untuk menjadi bagian darinya.
Pilihan politik duo Indra ini membuat publik terkaget-kaget. Setidaknya ada beberapa catatan yang menarik untuk disimak, berikut ini :
Pertama, sungguh disayangkan pilihan politik duo Indra ini. Bagaimanapun, kita masih butuh orang-orang yang berani untuk mengatakan yang benar itu benar, dan yang salah itu adalah salah. Apalagi, duo Indra ini adalah orang-orang yang selama ini cukup dikenal baik oleh publik sebagai pengamat “oposisi”, bahkan icon pada bidang masing-masing. Proses Check and Balance pada konteks wacana perjalanan roda demokrasi tetap harus terjaga dengan baik.
Kedua, mengukur daya kritis duo Indra ini menjadi penting untuk kita bicarakan. Orang mungkin sepakat dengan kekritisan duo Indra ini terhadap rezim maupun politisi yang merusak dalam mengelola negara ini, sebelum pilihan politik mereka saat ini. Namun saat ini, tentu saja mereka sudah berbeda. Sekritis apapun Indra Piliang, orang tentu akan menyimpulkan bahwa ini adalah bagian dari kepentingan partai Golkar. Sekritis apa pula, Indrayana, orang juga akan bilang “dia kan staf ahli hukum rezim berkuasa.” Sungguh, hilang sudah makna kekritisan mereka akan perbaikan bangsa dan negara ini.
Ketiga, mungkin kita bersikap positif thinking pada duo ini. pilihan masuk system merupakan ijtihad yang harus dihargai. Namun, pilihan itu tetap disayangkan. Bukan apa-apa, sudah banyak pengalaman dari para pengamat politik, ekonom, dan yang lainnya, ketika masuk system justru hanya menjadi corong bagi sang penguasa maupun parpol. Siapa yang tidak sepakat dengan kritisnya lontaran-lontaran dari Andi Malaranggeng (AM) ketika belum menjadi juru bicara presiden. Ketika kebijakan BBM naik, AM yang biasa dikenal vokal justru menjadi orang yang berposisi untuk “memaksa” rakyat untuk menerima dan memahami kebijakan pemerintah. Sungguh, pilihan politik yang sangat disayangkan.
Mungkin inilah keuntungan kita hidup berdemokrasi. Semua orang berhak untuk menjadi apapun, mau jadi Presiden tidak ada yang melarang, mau jadi anggota dewan juga tidak ada yang mempersoalkan. Artis-artis sudah berbondong untuk menjadi anggota dewan, para pengamat juga tak mau kalah, dan ada juga pengamat yang ingin membela rezim yang berkuasa atasnama perbaikan. Semoga saja…karena Negara ini sudah lama menjadi ajang coba-coba. Coba-coba menjadi anggota dewan, malah jadi gila dan stress. Coba-coba korupsi, malah menjadi koruptor benaran.

Rabu, 03 September 2008

Menjelaskan perilaku pemilih Indonesia


Diringkas dari Disertasi Dr. J.Kristiadi, UGM

Persoalan yang pertama kali muncul adalah apakah ketiga aliran pendekatan tsb (psikologis, sosiologis, dan ekonomis) dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku pemilih masyarakat Indonesia. Tampaknya hal ini tidak mudah dijawab. Sebab, penerapan pendekatan2 tsb di negara2 dimana studi dilakukan masih juga memiliki bagian keterbatasan dan kelemahan. Terlebih lagi kalau pendekatan tsb diterapkan dalam system sosial, politik, budaya yang berbeda seperti Indonesia.
Implementasi pendekatan2 tsb guna memahami perilaku pemilih masyarakat Indonesia tampaknya kurang memadai. Hal ini disebabkan antara lain, konsep kelas dalam masyarakat Indonesia berbeda dengan konsep kelas dalam masyarakat barat yang sangat dipengaruhi oleh paham Marxis dan Weber, dalam arti, masyarakat dibagi menjadi kelas2 menurut criteria ekonomi, dimana masing2 kelas membentuk kelompok, antara lain parpol guna mempertahankan memperjuangkan kepentingannya. Oleh karena itu, sejarah perkembangan parpol di negara barat seperti dinyatakan oleh Duverger, (dalam Amal, ed, 1988) menunjukkan adanya hubungan antara kesejahteraan ekonomi akibat revolusi industri dan tumbuhnya pengelompokan masyarakat, antara lain parpol, yang menjadi penghubung antara sturktur sosial pluralistic dan pemerintah.
Sementara itu, embrio pembentukan partai politik di Indonesia pertama-tama dilakukakn oleh kelompok cendekiawan. Pembentukan lebih didorong oleh kesadaran nasional dengan membentuk organisasi yang pada awalnya non politik sebagaimana Boedi Utomo misalnya. Menurut Kartodirjo (1990) meskipun organisasi tsb tidak sanggup membentuk kesadaran secara konkret karena telah membangkitkan semangat untuk bersatu dan berorganisasi.
Kalaupun di Indonesia terjadi kelas-kelas dalam masyarakat, konsep tsb lebih merupakan pemilahan dari kelompok yang berkuasa (birokrat) dan kelompok yang dikuasai (rakyat), serta pengelompokan berdasarkan loyalitas primordial daripada konsep kelas yang mengacu pada pengelompokan ekonomi. Mungkin satu2nya yang mencoba membangun kekuatan berdasarkan kelas adalah PKI. Tapi menurut Evers (1990) upaya tiu digagalkan oleh kelompok religius dan militer. Oleh karena itu, pendekatan sosiologis tidak dapat sepenuhnya diterapkan di Indonesia. Hal ini harus disesuaikan dengan konteks sosio-kultural masyarakat Indonesia.
Pendekatan psikologis yang dikembangkan oleh kelompok Michigan juga tidak begitu saja bisa diterapkan di Indonesia. Hal ini disebabkam antara lain oleh karena inti pendekatan psikologis yang menitikberatkan pada identifikasi kepartaian, khususnya sikap seseorang terhadap issu politik calon presiden maupun anggota parlemen, adalah variabel2 yang bagi masyarakat Indonesia kurang relevan. Kedua, hal ini tidak pernah bisa berkembang menjadi issu yang mendapat menjadi pilihan masyarakat, sebab iklim politik Indonesia memungkinkan issu politik dan calon2 didominasi oleh satu kekuatan sosial politik tertentu. Namun demikian ada sebagian aspek pendekatan psikologis yang dapat digunakan, yakni identifikasi kepartaian, meskipun secara tidak langsung. Artinya, konsep indentifikasi kepartaian masyarakat akan ditelusuri melalui proses sosialisasi politik dan identifikasi kepartaian pimpinan masyarakatnya.
Pendekatan ekonomis atau rasional tampaknya akan lebih sulit diterapkan dibanding mengingat sebagian besar masyarakat Indonesia belum sepenuhnya memahami pemilu sebagai salah satu mata rantai proses pengambilan keputusan, yang antara lain berupa kebijakan yang secara subyektif dapat dianggap merugikan atau menguntungkan anggota masyarakat. kekurangpahaman masyarakt dalam memahami dan menilai kebijakan politik, tidak memungkinkan menjelaskan perilaku poltik dengan pendekatan ini, kecuali pendekatan ini dilakukan pada kelompok masyarakat kota dan kelompok masyarakat yang mempunyai tingkat pendidikan cukup tinggi.
Berangkat dari paparan diatas, maka ada beberapa catatan penting, yaitu : pertama, pendekatan sosiologis dapat dipergunakan untuk meneliti pemilahan yang secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu : pimpinan dan anggota masyarakat serta sifat hubungan antara kedua kelompok tsb. Selain itu, aspek tingkat pendidikan, jenis profesi, dan tempat tinggal, dll, merupakan aspek2 pendekatan psikologis yang dapat membantu menjelaskan perilaku pemilih masyarakat Indonesia. Sementara itu, pendekatan psikologis diharapkan dapat memberikan perspektif internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai budaya, adapt istiadat yang membentuk budaya poltik masyarakat yang pada gilirannya akan berpengaruh pada perilaku politik. Penggabungan kedua pendekatan tsb disebut pendekatan sosio-kultural. Pendekatan yang inilah yang relative bisa untuk menjelaskan perilaku politik masyarakat Indonesia.

Studi Voting di Indonesia
Penelitian perilaku pemilih di Indonesia, baik yang dilakukan oleh para sarjana barat maupun sarjana Indonesia, meskipun pada umumnya sebagian menyajikan analisis2 yang berdasarkan data empiris tetapi sebagian besar adalah studi yang dilakukan berdasarkan agregasi data hasil pemilu. Masih sangat sedikit penelitian yang menganalisis pemilu secara mendalam sebagai proses pengambilan keputusan seseorang terhadap parpol. Salah satu penelitian tentang perilaku pemilih yang cukup mendalam dilakukan oleh Affan Gafar (1988). Pokok studi ini mengatakan bahwa kecenderungan seseorang untuk mendukung dan memilih parpol tertentu, dipengaruhi oleh identifikasi dirinya terhadap tiga aliran yang dikemukakan oleh Geertz (1960), yakni, Santri, Abangan, dan Priyayi. Mereka yang mengidentfikasi dirinya dengan Santri cenderung untuk memilih partai Islam (PPP), sedangkan yang abangan akan memilih partai non-Islam. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, ditemukan fakta bahwa di beberapa daerah yang berbasiskan daerah santri justru dimenangkan oleh partai Golkar, yang notabene bukan partai Islam. Misal di beberapa kabupaten/kota di NAD dan jawa timur. Dengan demikian, relevansi “tiga pilahan” Geertz sebagai alat analisis politik sudah mulai berkurang. Menurut Mulkan (1984) hal ini disebabkan aspirasi kaum santri telah merembes ke lingkungan birokrasi dna perjuangan politik hanya menjadi salah satu cara untuk memperjuangan kepentingan politiknya. Mulkan melanjutkan bahwa perjuangan melalui politik tidak lagi hanya dilakukan secara langsung mempengaruhi putusan2 politik, tapi juga bisa dilakukan memalui kegiatan sosial kemasyarakatan.
Mengingat pertimbangan2 diatas maka studi voting dalam tesis ini akan dilakukan dengan pendekatan sosio-kultural. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa sejarah suatu bangsa selalu dalam dinamika terus menerus antara kemauan dan mempertahankan perkembangan dan hasrat untuk mempertahankan nilai-nilai, adat istiadat, serta kepercayaan yang dianggap sebagai jati diri masyarakat atau bangsa tersebut.
Di dalam kehidupan politik terdapat nilai-nilai, adat istiadat, kepercayaan yang menjadi acuan sikap dan perilaku poltik masyarakatnya. Keseluruhan itu disebut dengan kebudayaan politik, yang menjadi acuan bagi masyarakat agar berperilaku sesuai dengan system politik bangsa. Kebudayaan politik yang dinamis akan mendorong masyarakat menyesuaikan diri dengan tuntutan dan perkembangan zaman secara terus menerus. Oleh karena itu, akan sangat besar peranan nilai-nilai, adapt istiadat, kepercayaan, serta kebiasaan terhadap sikap dan perilaku politik anggota masyarakat.

Senin, 01 September 2008

Menangkap Momentum Kebangkitan (Intelektual) Islam



Oleh : Romi Siska Putra, M.Si


Hal yang menarik untuk mengawali tulisan ini adalah hasil polling yang dilakukan oleh majalah terbitan AS Foreign Policy bekerjasama dengan majalah terbitan Inggris Prospect baru-baru ini. "Sepuluh besar tokoh intelektual paling terkenal di dunia dalam polling pembaca tahun ini semuanya Muslim, " tulis Foreign Policy. Polling ini dilakukan majalah Foreign Policy dan Prospect hampir sebulan penuh. Sekitar 50 ribu pembaca memberikan suaranya pada salah satu dari 100 daftar tokoh yang diberikan kedua majalah tersebut.
Tiga urutan teratas diisi oleh Fethullah Gülen, Muhammad Yunus, dan Syaikh Yusuf al-Qaradawi. Hal yang terpenting untuk dilihat lebih jauh adalah apa yang menjadi faktor keterkenalan itu. Majalah Foreign Policy dalam penjelasannya menulis, Gülen adalah tokoh ulama Islam yang paling berpengaruh karena memiliki jaringan global. Gülen, bagi pengikut gerakannya dianggap pemimpin yang memberikan inspirasi, yang mendorong kehidupan Islam yang moderat di Turki. Berikutnya Muhammad Yunus, nama beliau mulai mencuat setelah menerima Nobel karena jasa-jasanya mengembangkan industri kecil di negerinya, Bangladesh. Sedangkan tokoh cendikiawan Muslim Syaikh Yusuf al-Qaradawi, beliau adalah pengisi acara populer Shariah and Life di televisi Al-Jazeera. Qaradawi sering mengeluarkan berbagai fatwa setiap minggunya untuk berbagai hal, mulai dari fatwa tentang hukum mengkonsumsi alkohol bagi Muslim hingga fatwa tentang perlawanan terhadap pasukan penjajah AS di Irak, " tulis Foreign Policy. Salah satu tokoh cendikiawan Muslim yang bukunya mulai ramai bertebaran di Indonesia adalah Dr. Amr Khalid asal Mesir, berada di peringkat keenam. Ia menjadi tokoh pilihan publik karena sangat karismatik dan menyampaikan ceramah keagamaan dengan gaya yang kasual. Khalid dikenal dengan pesan-pesan yang memadukan antara integrasi budaya dan kerja keras dengan ajaran-ajaran tentang bagaimana menjalani kehidupan yang Islami.
Hasil polling ini tentu saja merupakan kabar yang sangat positif bagi peradaban Islam, terutama bagi para intelektual Muslim di dunia, khususnya di Indonesia. Mungkin saja bukan sebatas itu, harapannya akan menjadi inspirasi dan membangkitkan ghiroh intelektualitas bagi kalangan intelektual Muslim yang lain untuk menunjukkan karyanya. Hasil polling ini juga menarik untuk diapresiasi karena, pertama polling ini diadakan oleh media barat. Media barat selama ini, tidak cukup seimbang dalam menyampaikan informasi tentang Islam dan dinamika yang ada di dalamnya. Dalam konteks metodologis, obyektifikasi yang dilakukan penuh dengan tendensi dan bias kepentingan ideology tertentu. kedua, respondens melibatkan banyak orang yang multi keyakinan di dunia. Artinya, ini adalah penilaian oleh publik dunia. Ketiga, masuknya tokoh intelektual Muslim dalam 10 besar dari 20 orang tokoh intelektual dunia yang di survey oleh majalah tersebut. Tanpa memperdebatkan metodologi yang digunakan, tapi majalah ini benar-benar berani memaparkan pada publik hasil dari polling ini.
Namun meninjau lebih kritis dari hasil polling ini setidaknya ada beberapa catatan penting untuk kita simak, yaitu :
pertama, Tiga tokoh intelektual Muslim yang berada pada tiga posisi teratas dari hasil polling tersebut adalah representasi dari Islam moderat. Islam ditampilkan sebagai sebuah agama yang bisa berdampingan hidup dengan penganut-penganut yang berada di luar Islam. Hal ini juga menjelaskan bahwa Islam jauh dari image sebagai agama yang radikal, apalagi menjadi inspirasi untuk melakukan tindakan terorisme. Sebagaimana wacana yang berkembang di barat, bahkan di Indonesia sendiri bahwa dalang teroris sering dikaitkan dengan keyakinan mereka terhadap Islam. Maka kemunculan tokoh-tokoh tersebut menjadi sangat penting untuk dibahas lebih jauh. Fethullah Gülen dikenal sebagai inspirator bagi umat Islam di Turki bagaimana menghadirkan kehidupan Islam yang moderat. Sedangkan Syaikh Yusuf Qorodhawi adalah intelektual Muslim yang fatwa-fatwanya hampir bisa diterima oleh berbagai kalangan dalam umat Islam, walaupun beliau dengan sangat berani mengeluarkan fatwa penentangannya terhadap agresi militer Amerika Serikat (AS) terhadap Irak, bahkan juga politik Israel. Negara-negara yang selama ini dikenal memiliki pengaruh besar dalam politik internasional, dan menjadi arus kuat dalam mengendalikan kebijakan politik internasional saat ini.
Kedua, ketiga tokoh diatas adalah representasi dari orang-orang yang memiliki pengaruh yang riil dalam menyelesaikan persoalan umat, bahkan umat manusia pada umumnya. Mungkin inilah profil yang disebut oleh Prof. Kuntowijoyo sebagai intelektual profetik. Intelektual yang bisa melakukan peran-peran pencerahan kepada umat (liberasi), pembebasan umat dari ketertindasan (humanisasi), dan tidak congkak dengan apa yang mereka temukan tapi justru meningkatkan pengakuannya terhadap kekuasaan Tuhan (transedensi) Kita bisa melihat sosok Muhammad Yunus misalnya. Profesor ini memutuskan untuk keluar dari “dunia teori” di kampus ini berhasil mengukir prestasi spektakuler dengan keberhasilannya memberantas kemiskinan di Bangladesh. Metodologi yang digunakannya menjadi luar biasa ketika ia berhasil menangkap dengan baik kekuatan yang dimiliki orang-orang yang lemah secara ekonomi tersebut. Gebrakannya ini ternyata berbuah dengan dianugrahkannya nobel di bidang ekonomi karena keberhasilannya tersebut. Hal yang tidak jauh berbeda juga dilakukan oleh Fethullah Gülen sebagai tokoh aktivis gerakan Islam di Turki. Figurnya sebagai tokoh Islam moderat seakan begitu berarti negara Islam yang sekuler seperti Turki. Sedangkan Syaikh Yusuf Qorodhawi adalah intelektual Muslim yang sangat produktif dalam memproduksi gagasan ke-Islaman yang moderat dan menjadi inspirasi bagi gerakan Islam dari berbagai belahan dunia. Bahkan, berbagai bukunya telah banyak diterjemahkan dan tersebar di belahan dunia Islam, Indonesia misalnya.
Ketiga, bisa jadi orang-orang yang berada diluar Islam tidak melihat mereka sebagai seorang intelektual Muslim. Keberadaan mereka bisa jadi adalah representasi dari orang-orang yang memiliki pengaruh dalam memberikan solusi terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan. Namun, bagi umat Islam, karya-karya mereka sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari tanggungjawab intelektualnya sebagai seorang Muslim yang shalih. Bukankah shiroh Rasulullah dan para sahabat telah menjelaskan bahwa munculnya tokoh-tokoh intelektual Muslim waktu itu adalah ekpresi dari keyakinan mereka terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber Ilmu yang pasti.
Keempat, kemunculan tokoh-tokoh tersebut seharusnya menjadi kritikan bagi intelektual-intelektual Muslim yang ada saat ini. Tentu saja dalam hal ini konteksnya adalah Indonesia. Saat ini, tidak sedikit intelektual Muslim yang memutuskan untuk menghamba pada kekuasaan dan seakan tidak mau tahu dengan beban ekonomi yang dialami oleh umat. Masih ingat dalam benak kita, berjejernya nama-nama intelektual Muslim yang mendukung kebijakan kenaikan BBM (pertama kalinya) oleh pemerintahan SBY-JK. Bukankah keberadaan intelektual Muslim seharusnya dekat dengan persoalan yang dialami oleh umatnya, bukan berada di menara gading (kekuasaan) belaka. Sungguh ironis.
Akhirnya, penting untuk mengapresiasi keberhasilan para intelektual Muslim diatas. Kehadiran mereka penting untuk menjadi reduktor untuk image Islam sebagai agama teroris, radikal, dan semacamnya. Harapannya polling ini menjadikan publik barat bisa berpikir lebih obyektif tentang (umat) Islam. Kesadaran seorang Muslim terhadap Islamnya justru menghadirkan dirinya bagian solusi dari kompleksnya persoalan kemanusiaan saat ini. Islam bukanlah musuh bagi siapapun, seperti yang dituduhkan oleh Samuel Huntington dalam bukunya The Clash of Civilization. Bagi kaum Muslimin, kehadiran Islam adalah rahmat bagi alam ini. Semoga ini menjadi awalan yang baik untuk menjadikan bumi ini menjadi damai, tanpa perang dan pertumpahan darah, mendikte negara lain dengan alasan apapun.
Wallahu a’lam bishowab

Studi Governance di Kabupaten Jembrana


1. Pendahuluan
Pasca reformasi menjadi fase yang bersejarah perjalanan bangsa ini, fase yang membuka ruang-ruang demokrasi dapat dinikmati kembali oleh sebagian besar bangsa ini setelah selama 32 tahun orde baru, demokrasi berada dalam kerangkeng tirani. Sentralisasi yang menjadi watak orde baru semakin menyempitkan rakyat untuk berpartisipasi secara bebas dan mendapatkan haknya, sehingga wajar kemudian masyarakat menyambut gembira ketika secara konstitusional dilegalkannya desentralisasi melalui otonomi daerah dalam Undang-undang (UU) Pemerintahan Daerah No. 32 2004. Otonomi daerah dimaknai sebagai semakin besarnya ruang-ruang demokrasi di daerah-daerah seluruh Indonesia, daerah diberikan otoritas yang besar untuk mengelola daerahnya, baik pemerintahan maupun potensi lokal yang ada di masing-masing daerah sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Diskusi tentang politik desentralisasi dan pemerintahan daerah menempati posisi yang strategis dalam khasanah ilmu politik maupun politik praktis. Pertama, sejarah menunjukkan bahwa politik lokal – yang salah satu pengaturannya dilakukan melalui politik desentralisasi -- merupakan energi politik utama dalam pengaturan masyarakat sebelum hadirnya negara modern. Kedua, pembicaraan tentang politik desentralisasi dan otonomi daerah semakin signifikan dalam perkembangan politik kontemporer global. Hal ini ditunjukkan dengan data komparasi pada level global yang mengindikasikan semakin krusialnya posisi politik lokal dalam berbagai konflik politik sebuah negara; dan dalam menjelaskan kebangkrutan banyak negara dalam mempertahankan integrasinya. Ketiga, pengalaman empirik Indonesia dalam setengah abad terakhir mengkonfirmasikan krusialitas dan konsistensi permasalahan politik lokal dalam menentukan arah dan dinamika politik nasional Indonesia
[1].
Alasan dianutnya desentralisasi mengutip pendapat The Liang Gie dimotori beberapa alasan;
- Desentralisasi dapat mencegah penumpukan kekuasaan pada pemerintahan pusat yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani;
- desentralisasi dapat dianggap sebagai tindakan pendemokrasian, yaitu untuk menarik rakyat ikut sert dalam pemerintahan dan melatih diri dalam menggunakan hak-hak demokrasi;
- desentralisasi perlu diadakan supaya perhatian dapat sepenuhnya ditumpahkan kepada kekhususan derah, keadaan geografus, penduduk, kegiatan ekonomi, watak budayadan latar belakang sejarhnya;
- desentralisasi dapat menciptakan pemerintahan yang efesien;
- desentralisasi diperlukan karena pemerintahderah dapat lebih banyk dan secara langsung membantu pembangunan tersebut;
Desentralisasi mencakup setiap pergeseran atau perpindahan proses pengambilan keputusan, seperti dikemukakan Maro bahwa desentralisasi mengandung pengertian adanya tranfers atau pemindahan kekuasaan, fungsi-fungsi atau aktivitas-aktivitas dari tingkat nasional ( pusat ) ke tingkat sub nasional ( local ), terutama daerah-daerah, distrik-distrik atau unit-unit administratif lokal dan unit-unit geografis lainnya. Jadi desentralisasi sebagai gagasan yang sarat dengan muatan politik ( Cornelis lay : 226-227 )
Berkaitan dengan isi desentralisasi ada beberapa aliran dan prinsip-prinsip otonomi daerah, Bagir Manan mendefinisikan otonomi sebagai : kebebasan dan kemandirian ( Rijheid dan Zell standing heid ) satuan pemerintahan lebih rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintahan ( Bagir Manan, 1993 : 2 ). Konsep kebebasan dan kemandirian bukan berarti kemerdekaan daerah melainkan dikaitkan dengan ikatan Negara kesatuan. Akibatnya kebebasan daerah harus dalam kerangka menjaga hubungan yang baik dengan pemerintah pusat.
Harapan yang ditumpangkan pada “bahtera” otonomi daerah tidak semuanya terwujud sesuai dengan semangat awal yang dibangun dalam fase awal otonomi daerah. Persoalan-persoalan akibat sisa-sisa yang membengkas dalam pengelolaan sentralisasi sebelumnya tetap saja memberikan implikasi yang serius, misalnya saja cengekeraman pusat terhadap daerah masih terlalu kuat, sebagai contoh kasus adalah pengelolaan potensi alam daerah, masih banyak model praktek bagi hasil yang tidak sesuai dengan semestinya, yang berarti daerah dirugikan secara sepihak dari kesepakatan awal yang telah ditetapkan sebagai bentuk dari semangat otonomi yang diberikan kepada daerah.
Secara substansi Roundinelli : 1983 mengemukakan permasalahan hubungan antara daerah dan pusat yakni :
Political constraints
Secara politik hubungan antara pusat dan daerah terdapat masalah yang serius menyangkut : lemahnya dukungan politik diantara elit nasional, birokrasi, elit lokal dan rakyat, munculnya resistensi birokrasi pemerintah pusat dan munculnya oposisi oleh elit lokal dan elit tradisional, terakhir, elit lokal dan pengusaha tanah sering dibentuk aliansi dengan pejabat pusat dan anggota parlemen untuk bertahan terhadap perkembangan.

Administrative and Operational problems
Sedangkan permasalahan operasional dan administratif menyebabkan munculnya ambiguitas dalam mendesain kebijakan desentralisas
Psychological and Behavional Problems ( Praktikno, 2002 ).
Disamping itu semakin melemahnya kapasitas agen pusat dalam mendukung dan membantu pelaksanaan isi desentralisai dari segi permasalahan tingkah laku dan psikologis yakni munculnya sikap paternalistik dan otoriter pejabat pusat pejabat local harus mengetahui apa selera pejabat pusat, maka sering memunculkan konsep ABS ( Asal Bapak Senang ) dalam menjaga hubungan daerah dengan pusat berkaitan dengan pengawasan, karena dalam Negara Kasatuan hanya ada satu kedaulatan tertinggi ( C.F Strong :Ibid ).
Setumpuk harapan masyarakat telah tertumpah pada otonomi daerah, muncul yang tentunya berasal dari keinginan untuk meraih kemajuan dan kemakmuran kabupaten/kota. Peraturan Daerah (Perda) yang disusun diharapkan lebih peka terhadap aspirasi masyarakat dan mengambil roh dari UU tersebut.
Sementara adanya good governance menjadi wacana yang memberikan arus dalam pengembangan daerah. Terlepas dari berbagai wacana tentang isu governance ataupun eksesnya bagi dinamika pemerintahan, governance menjadi suatu tren yang marak diterapkan di kabupaten/kota sehinga secara tidak langsung menimbulkan kompetisi dari masing-masing daerah untuk maju dan berkembang. Sebuah arus utama yang relatif melegakan bagi hampir semua daerah. Atas kebijakan pemerintahan pusat.
Tata pemerintahan yang baik dengan mengedepankan aspek partisipatif, tranparansi, akuntabilitas publik, dan visi strategis dan berbagai prinsip-prinsip good governance menjadi rujukan daerah dalam menetapkan arah kebijakan pemerintah daerahnya. Setiap daerah “berlomba-lomba” melakukan terobosan efektif guna mencapai tujuan dan cita serta visi pemerintahan yang selaras dengan kehendak publik.
Salah satu daerah yang menjadi cantoh implementatif yang dinilai relatif berhasil adalah Kabupaten Jembrana. Semula daerah ini hanya daerah yang tak banyak dilirik sebagai ekperimentasi daerah berhasil. Namun berkat kegigihan dan inovasi kepala daerah perangkat pemerintahan bersama serta segenap pemberlakuan mekanisme good governance, keadaan menjadi berubah drastis. Jembrana kini menjadi rujukan bagi daerah lainnya.
Paper ini akan coba membahas lebih lanjut bagaimana pemerintahan Kabupaten Jembrana melaksanakan program-progaram yang memacu partisipasi masyarakatnya dalam hal pelayanan publik khusunya pada kajian Jaminan kesehatan Jembrana (JKJ). Pemerintah Jembrana juga mengakui bahwa inspirasi besar dari inovasinya adalah ide welfare state, tentu saja dalam konteks lokal.
[2]

2. Otonomi dan Good (Local) Governance
Perpektif good governance mengimplementasikan terjadinya pengurangan peran pemerintah. Good governance menekankan pada pelaksanaan fungsi governing secara bersama-sama oleh pemerintah dan institusi- institusi lain, yakni ORNOP, perusahaan swasta maupun warga negara.
Fungsi governing dijalankan secara balance (setara) dan multi arah (partisipatif). Sebagaimana pandangan Bambang Purwoko tentang implementasi good governance dalam otonomi daerah yang berada pada dua sisi penting yaitu: pertama, sisi output mengenai pelayanan publik yang lebih berkualitas dan lebih terjangkau. Kedua, dilihat dari sisi proses berupa responsif, akuntabel, transparan, partisipatif, efisien, kepastian hukum, dan lain-lain.
[3]
Sejalan dengan bagaimana proses-proses implementasi dari pelayanan publik dapat memacu partisipasi masyarakat yang dalam banyak hal mulai mengerti akan hakikat hak dan kewajibannya sebagai warga masyarakat. Disamping itu pemerintah dapat mengimplementasikan program-program yang dicanangkan dari berbagai inovasi strategis. Sinergitas inilah menjadi idaman sehingga membawa pemerintahan semakin efektif dan berkelanjutan.
Meskipun perspektif governance mengimplikasikan terjadinya pengurangan peran pemerintah, tetapi pemerintah sebagai institusi tetap harus mengambil peran. Setidaknya ada 6 (enam) prinsip yang ditawarkan guna mewujudkan governance, yaitu:
[4]
a. Dalam kolaborasi yang dibangun, pemerintah tetap bermain sebagai figur kunci namun tidak mendominasi, yang memiliki kapasitas untuk mengkoordinasi (bukan memobilisasi) aktor-aktor pada institusi-institusi semi dan non pemerintah, untuk mencapai tujuan-tujuan publik.
b. Kekuasaan yang dimiliki pemerintah harus ditransformasikan untuk menyelenggarakan kepentingan, memenuhi kebutuhan, dan menyelesaikan masalah publik.
c. Negara, NGO, swasta dan masyarakat lokal merupakan aktor- aktor yang memiliki posisi dan peran yang saling menyeimbangkan.
d. Negara harus mampu mendesain ulang struktur dan kultur organisasinya agar siap menjadi katalisator bagi institusi lainnya untuk menjalin sebuah kemitraan yang kokoh, otonom dan dinamis
e. Negara harus melibatkan semua pilar masyarakat dalam proses kebijakan mulai dari formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan, serta pemberian layanan publik.
f. Negara harus mampu meningkatkan kualitas responsivitas, adaptasi dan akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan kepentingan, pemenuhan kebutuhan dan penyelesaian masalah publik.

Pelibatan seluruh stackeholders (pemerintah, swasta, masyarakat) guna menyelesaikan masalah publik menjadi inti dari governance. Diharapkan dari sinergitas ini dapat tercipta suatu hubungan tanpa dominasi sehingga sasaran utama yaitu kesejahteraan dapat tercapai. Ruang untuk terciptanya governance pun semakin terbuka lebar seiring dengan semangat desentralisasi dan otonomi. Kemauan serta inovasi maju dari elit-elit yang ada di daerah menjadi kunci bagi terwujudnya good (local) governance.
Dalam konteks pemerintahan lokal, pelayanan publik didefinisikan sebagai pelayanan yang diberikan oleh pemerintahan daerah kepada sejumlah orang yang memiliki kesamaan berpikir, perasaan, harapan, sikap, dan tindakan yang benar dan baik berdasarkan nilai-nilai norma yang mereka miliki.
[5]
Berangkat dari pemahaman pelayan publik tersebut maka setiap pemerintahan daerah berdasarkan karakter dan norma yang berlaku pada masyarakat memberikan pelayanan dan dengan pelayanan pemerintahan kepada publik diharapkan publik (masyarakat) dapat berperan serta aktif pada program-program pemerintahan.
Pelayanan publik yang prima dalam prosesnya akan berdampak luas bagi masyarakat. Selain dapat menyinergikan kebutuhan masyarakat dengan program pemerintahan juga memungkinkan masyarakat merasa memiliki pemerintahan serta mendapat pengayoman dan perhatian dari pemerintahan. Akibatnya pemerintahan menjadi efektif dan berkesinambungan.
Dalam hal ini Hanif Nurcholis (2005) menuliskan:
“Pemerintahan daerah menjadi produktif karena dengan pelayanan prima kepada rakyat dan stakeholders maka pemerintahan daerah akan 1) mendapat dukungan penuh dar rakyat sehingga makin mantap dan stabil, 2) efektif dan efisien dalam menggunakan semua sumber-daya yang dimiliki, sehingga memberi manfaat yang lebih besar, 3) menciptakan efek multiplier bagi usaha roduktif karena pengusaha, investor, dan semua pelaku ekonomi merasa senang dan puas sehinggaterpicu untuk terus meningkatkan investasi dan produksinya...”
[6]

Kemudian Lenvine (1990:188) dalam Agus Dwiyanto (2005) mengemukakan bahwa kualitas pelayanan publik yang ideal setidaknya harus memenuhi 3 (tiga) indikator, yaitu
[7] :
1). Responsiveness yaitu daya tanggap penyedia layanan terhadap layanan terhadap harapan, keinginan, aspirasi maupun tuntutan pengguna layanan.
2) Responsibility yaitu suatu ukuran yang menunjukkan seberapa jauh proses pemberian pelayanan publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip atau ketentuan-ketentuan administrasi dan organisasi yang benar yang telah ditetapkan.
3). Accountability yaitu suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar proses penyelenggaraan pelayanan sesuai dengan kepentingan stake holders dan norma-norma yang berkembang dalam masyarakat.

Keberhasilan dari visi menjulang untuk praktek lokal, welfare state dapat dilihat dari empat basis
[8] utama sebagaimana pandangan Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo berikut ini:
1. Basis Politik, negara kesejahteraan membutuhkan basis politik kuat yang mampu mewadahi koalisi antarkelompok kepentingan serta dukungan demokrasi parlementer yang matang;
2. Basis Birokrasi, Esping Anderson (1990) menyatakan bahwa adopsi negara kesejahteraan membutuhkan suatu dukungan kapasitas birokrasi yang kuat, sebagai bentuk organisasi yang modern yang efektif dan efisien untuk mengelola jejaring kebijakan sosial yang komprehensif;
3. Basis Tata Kelola Pemerintahan, Indonesia telah mengalami proses perubahan tata kelola pemerintahan yang signifikan sejak pemberlakuan desentralisasi dan otonomi daerah. Pertanyaannya kemudian adalah dapatkah eksperimen yang dilakukan beberapa daerah, seperti Jembrana dan Sinjai, beserta hasil-hasil positifnya direplikasikan secara luas dalam skala nasional?
4. Basis Pembiayaan dan Kerangka Ekonomi, dalam proses implementasinya kombinasi yang tepat antara basis pembiayaan contributory dan non-contributory harus bisa ditemukan.

Dengan demikian kehadiran Welfare State dalam konteks pemerintahan lokal dapat memberikan kontribusi bagi masyarakat yang dinaunginya. Penguatan basis-basis utama dalam lingkar pemerintahan dan sistem yang diterapkan nantinya mewarnai setiap langkah-langkah pembangunan sesuai dengan harapan dan konsensus bersama antar pemerintah dan masyarakatnya.

3. Pembahasan Jembrana tentang JKJ
Jembrana menjadi fenomenal adalah karena pengelolaan daerahnya dalam konteks otonomi daerah yang bisa merealisasikan prinsip-prinsip Good Governance, wajar Jembrana kemudian menjadi kiblat atau parameter bagi daerah-daerah yang lain di Indonesia dalam pengelolaan otonomi daerah. Jembrana dianggap menjadi salah satu penjewantahan Good Governance yang layak menjadi contoh dalam pengelolaan daerahnya. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerahnya seakan mendapat respons yang positif dari masyarakatnya, salah satu indikasinya adalah semakin meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut. Di sisi lain proses akuntabilitas juga berjalan sesuai dengan harapan masyarakat, dan birokrasi seakan menempatkan diri pada posisi yang strategis untuk menjadi abdi masyarakat sehingga dapat memenuhi apa yang dibutuhkan oleh masyarakat setempat.
Terkait dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerahnya, kabupaten Jembrana tidak dapat dipisahkan dari sosok kepemimpinan kepala daerahnya yaitu Bupati I Gede Winasa. Kebijakan-kebijakan yang populis dan pro-rakyat banyak di inisiasi oleh sang kepala daerah, dan pada prakteknya menjadi kebijakan yang bisa menjawab persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Kebijakan-kebijakan itu setidaknya menjadi fakta untuk dijadikan sebagai parameter untuk menilai sejauhmana komitmen kepala daerah terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakatnya
Tercatat mulai tahun 2001 Jembrana mencuat ke permukaan karena beberapa kebijakan daerahnya yang dinilai merupakan suatu langkah maju dalam pembangunan daerah. Respons relatif berhasil dari Jembrana untuk menyediakan layanan dasar masyarakat dengan akses yang terjangkau oleh masyarakat ini tak terlepas dari good will kepala daerah dan institusi lain di Jembrana.
Sejak tahun 2001, Kabupaten Jembrana mulai melakukan evaluasi program kesehatan puskesmas dan rumah sakit terutama dari segi kwalitas pelayanan dan biaya pelayanan kesehatan. Evaluasi dilaksanakan untuk menindak lanjuti keluhan masyarakat yang menyatakan bahwa pelayanan kesehatan di Puskesmas dan Rumah Sakit Negara kurang diminati oleh masyarakat karena kwalitas pelayanannya mengecewakan. Sehingga masyarakat menilai pelayanan swasta lebih meyakinkan, kualitasnya lebih baik, obatnya lebih baik, petugasnya ramah serta gedungnya lebih baik dan bersih.
Mempertegas latar belakang lahirnya kebijakan JKJ ini yang didasari oleh evaluasi kesehatan secara menyeluruh dari Jembrana, maka ada beberapa pointer yang menjadi catatan, sebagai berikut:
1. Pemanfaatan RSUD Negara tidak begitu optimal, rata-rata BOR 58-60%, kunjungan rata-rata di Puskesmas hanya sekitar 30-40 orang per hari. Keluarga miskin hanya 15-20% yang memanfaatkan sarana Rumah Sakit, dan tidak banyak yang memanfaatkan Kartu miskin untuk berobat di Puskesmas dan Rumah Sakit.
2. Bila dilihat pemanfaatan APBD, subsidi obat untuk Puskesmas dan Rumah sakit mencapai 3,5 M pertahun, sementara pendapatan daerah dari sektor kesehatan kurang lebih 1 M, yang dapat dikatakan pendapatan semu (pendapatan kotor).
3. Akhirnya Pemerintah Kabupaten Jembrana menetapkan kebijakan bahwa subsidi pemerintah yang semula untuk obat-obatan RSU dan Puskesmas, dialihkan dan diberikan kepada masyarakat sebagai subsidi premi asuransi kesehatan kepada lembaga asuransi yaitu Lembaga JKJ. (SK Bupati Jembrana No. 31 Tahun 2003).
4. Dengan demikian Puskesmas dan RSU menjadi Swadana, kecuali obat-obat khusus/program disubsidi oleh pemerintah.
[9]

Upaya penyelesaian yang dilakukan oleh pemerintah daerah adalah dengan mengeluarkan Kebijakan Jaminan kesehatan Jemrana (JKJ) yang dikeluarkan oleh Bupati selaku kepala daerah melalui keputusan Bupati Nomor 31 Tahun 2003. kebijakan ini tidak saja menunjukkan responsivitas dari pemerintah daerah dalam konteks ini kepala daerah dalam melihat persoalan yang terjadi di masyarakat, tapi juga kejelian efisiensi dan efektifitas yang dilakukan oleh kepala daerah dari kebijakan subsidi sebelumnya. Kebijakan subsidi sebelumnya adalah subsidi biaya obat-obatan untuk Rumah Sakit Negara dan puskesmas, kemudian dialihkan untuk subsidi masyarakat lewat kebijakan JKJ ini. Data sebelumnya menunjukkan efisiensi dari subsidi obat-obatan rumah sakit dan puskesmas menunjukkan antara subsidi dengan pendapatan dari sektor kesehatan sangat timpang.
Subsidi kesehatan diberikan kepada seluruh masyarakat Jembrana dalam bentuk premi untuk biaya rawat jalan tingkat pertama di unit pelayanan kesehatan yang mengikat kontrak kerja dengan Bapel/Badan Penyelenggara JKJ. Tetapi apakah Keputusan Bupati Nomor 31 Tahun 2003 ini benar-benar mencerminkan semangat governance seperti yang didengung-dengungkan?
Pelayanan pemerintah melalui pelayanan kepada publik merupakan fungsi utama dari pemerintahan. Setiap masyarakat berhak menerima pelayanan dari pemerintahan, sebaliknya masyarakat melakukan partisipasi aktif terhadap program-program yang dicanangkan pemerintahan, termasuk pemerintahan daerah. Pelayanan publik berorientasi pada kemampuan pemerintah sebagai pengelola pemerintahan memberikan pelayanan terhadap hak-hak masyarakat.
Dalam perjalanan program JKJ ditunjukkan dengan meningkatnya partisipasi masyaraka, yang menindikasikan komitmen dari pemerintah daerah untuk mengatasi persoalan pada aspek kesehatan masyarakat. Sehingga pemberian subsidi lewat JKJ dengan kelembagaan dan kemitraan yang dibuat oleh pemerintah Jembrana membuktikan komitmennya untuk meningkatkan kesehatan masyarakat Jembrana.
Realitas kebijakan ini, mulai dari tahap awal (responsivitas keluhan masyarakat) sampai pada terbentuknya sistem JKJ menjadi indikasi yang kuat untuk menyatakan komitmen dari kepala daerah dalam realisasi kebijakan ini. Bahkan masyarakat juga diberikan ruang untuk menyalurkan keluhannya apabila tidak mendapat pelayanan selama JKJ berlangsung, misal dengan pengadaan LSM Center yang telah berjalan.

Jenis-Jenis PPK

Subsidi untuk premi ditetapkan sebesar Rp 3 Milyar untuk tahun 2003, 6,7 Milyar untuk tahun 2004 dan tahun 2005 subsidi sebesar 8 Miliar Rupiah. Dengan subsidi premi ini masyarakat Jembrana berhak memiliki kartu keanggotaan JKJ yang dapat digunakan untuk biaya berobat rawat jalan di setiap PPK-1 baik milik pemerintah maupun swasta (Dokter/drg/Bidan/Praktik Swasta/poliklinik Rumah Sakit Swasta kelas D) tanpa dipungut bayaran.
Untuk pelayanan di PPK-1 premi masyarakat disubsidi penuh oleh pemerintah, dimana klaim oleh dokter umum PPK-1 maksimal sebesar Rp. 27.000,- per kali kunjungan yang terdiri dari biaya jasa medis sebesar Rp. 10.000,- obat suntik Rp. 2.000,- dan obat-obatan lainya maksimal Rp. 15.000,- sesuai perhitungan harga obat yang digunakan. Kunjungan ulang dengan diagnose sama hanya boleh di klaim kalau tenggang waktu kunjungan pertama dengan berikutnya minimal 3 hari. Apabila sebelum 3 hari pasien datang lagi dengan kasus yang sama maka segala biaya pengobatan menjadi tanggungan PPK-1 bersangkutan. Diharapkan dapat mengatasi keengganan masyarakat menggunakan subsidi yang telah diberikan pemerintahan daerah sehingga partisipasi masyarakat juga otomatis meningkat.
Dapat dilihat dari runutan proses JKJ pada waktu itu yakni sebagai berikut:
1. Pada tahun 2003 subsisdi untuk premi dianggarkan Rp. 3 M, dapat membiayai premi seluruh penduduk Jembrana sebesar Rp. 1.080,- per bulan per orang. Untuk biaya Program Kesehatan lain di Puskesmas dan RSU masih dibiayai oleh pemerintah.
2. Dengan subsidi premi tersebut masyarakat Jembrana dapat memiliki kartu anggota Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ), yang dapat dimanfaatkan untuk berobat di semua PPK-1, baik di negeri maupun swasta (Dokter/drg/Bidan Praktek/poliklinik swasta/poliklinik RS swasta Kls D) tanpa dipungut biaya. Khusus untuk pelayanan di Bidan, hanya berlaku pelayanan Ante Natal Care dan KB, sesuai dengan kewenangan bidan. Sedangkan pelayanan untuk persalinan, masuk dalam pelayanan rawat inap (PPK-3) pasien harus membayar sesuai tarif atau mengikuti Program JKJ tahap berikutnya. Khusus untuk Gakin dibebaskan dari semua biaya pengobatan dan perawatan baik di PPK-1 swasta maupun pemerintah, PPK-2 RSUD, PPK-3 RSUD dan khusus untuk persalinan di Bidan Swasta biaya persalinan untuk Gakin ditanggung sebesar Rp. 50.000,- sesuai aturan JPS BK dan bodan dapat mengajukan klaim ke lembaga JKJ.
3. Operasional JKJ digerakan oleh Tim Persiapan JKJ dan Bapel JKJ, sesuai dengan SK Bupati Jembrana No. 572 Tahun 2002. Tim Persiapan JKJ mempunayi tugas menyiapkan pengoperasionalan JKJ yaitu : (1) Penyelesaian Administrasi yang berkaitan dengan Lembaga JKJ, (2) Penghitungan besarnya premi dan tarif pelayanan PPK, (3) Sosialisasi dan Advokasi program-program JKJ, (4) Persiapan sisten verifikasi pelayanan kesehatan.
[10]

Sebagaimana telah dijelaskan dalam laporan diawal-awal tulisan ini. JKJ menjadi salah satu jawaban yang direspon dengan baik oleh masyarakat Jembrana. Terbukti setelah JKJ berlangsung 3 tahun sejak tahun 2003, tingkat kesehatan masyarakat meningkat secara drastis.
Peningkatan kesehatan masyarakatnya tak terlepas dari inovasi dan gagasan Bupati Winasa yang juga memiliki basic keilmuan dari dunia kesehatan serta aplikasi pemerintahan yang berorientasi pada kebutuhan riil masyarakat. Dari data di bawah ini menunjukkan bahwa umur harapan hidup Jembrana berkisar sampai 71 tahun 3 bulan (2004) yang sebelumnya 70 tahun. Umur harapan hidup yang tinggi, jika dibandingkan daerah lain. Seperti terlihat dalam tabel berikut ini:

Tabel 1: Angka harapan Hidup di Kabupaten Jembrana
Tahun Umur
2001 70
2002 71,1
2003 71,3
2004 71,34

Sumber: Hand Out Pemerintah Kabupaten Jembrana, 4 Desember 2006

Sementara itu dilihat dari tingkat hunian dan angka kesakitan Jembrana dari tahun ke tahun mengalami penurunan yang berarti khususnya dari tahun 2004 dan tahun 2005. sebagaimana terdapat dalam tabel berikut ini:
Tabel 2:
Angka Kesakitan di Kabupaten Jembrana
No.
Keterangan
Tahun
2004
2005
1. Jumlah Pengunjung (2003-2005)
71,012
86,525
74,802
2. Jumlah Penduduk (2003-2005)
251,164
252,065
257,459
3. Angka Kesakitan (2003-2005)
28,27
34,33
29,05
4. Target Indonesia 2010 : 25,25

Sumber: Hand Out Pemerintah Kabupaten Jembrana, 4 Desember 2006

Program JKJ yang dicanangkan tahun 2002 namun efektif tahun 2003 melalui Keputusan Bupati bernomor: 552 tahun 2003 tentang Perubahan atas Keputusan Bupati Jembrana Nomor 572 tahun 2002 tentang Pembentukan Tim Persiapan Jaminan Kesehatan Jembrana. Kemudian disempurnakan dengan Perda nomor 7 tahun 2006 tentang Pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Daerah Kabupaten Jembrana.
[11]
Program JKJ menitikberatkan pada tiga spesifikasi sebagai salah satu inovasi pelayanan kesehatan masyarakat bertujuan untuk: 1) meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, 2) pemerataan pemberian pelayanan kesehatan serta 3) menciptakan kompetisi alami antar pemberi pelayanan kesehatan.
[12] Dari program JKJ inilah, masyarakat lebih diarahkan memahami hak-haknya dalam pelayanan publik terutama bidang kesehatan.
Berdasarkan wawancara pada saat studi praktek governance di Jembrana menyatakan:
“...Dengan diberikan jaminan kesehatan dengan pelayanan tingkat dasar, derajat kesehatan masyarakat meningkat. Ditandai dengan menurunnya pengunjung rawat inap secara drastis dari (60 persen menjadi 41 persen). Karena setiap ada yang sakit, masyarakat lebih sering menggunakan kartu JKJ langsung ke praktek dokter setempat. Memeriksakan kesehatannya secara berkala bahkan sakit sedikitpun sudah memeriksakan kesehatannya...”
[13]

4. Kesimpulan dan Harapan
Setiap masyarakat berhak mendapat jaminan sosial dengan membayar premi yang disubsidi pemerintah daerah sekali dalam setahun dengan mendaftarkan diri disertai bukti KTP. Artinya masyarakat harus proaktif mendaftar melalui unit-unit badan Penyelenggara Jamsosda setempat.
Dari beberapa inisisasi, inovasi dan program JKJ Kabupaten Jembrana dapat dikatakan memberikan inspirasi besar bagi pnegembangan akses publik yang lebih partisipatif dan lebih aktif menghargai kesehatannya.

JKJ dibangun sebagai satu inovasi pilihan untuk meningkatkan kwalitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat Jembrana.
JKJ merupakan satu kreasi atau pengalihan subsidi pembiayaan kesehatan dari subsidi kepada unit pelayanana kesehatan menjadi subsidi kepada masyarakat melalui lembaga Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ), dengan demikian Pemerintah tidak membuat anggaran baru hanya mengalihkan biaya yang sudah ada bahkan dicoba mengalokasikan dibawah alokasi semula.
JKJ akan mengelola pembiayaan kesehatan sedangkan biaya operasional kesehatan lainnya tetap disubsidi seperti semula terutama program yang sifatnya khusus, preventif dan rehabilitatif.
Dengan program JKJ dimungkinkan terjadinya demokratisasi dibidang kesehatan karena masyarakat dapat secara bebas menggunakan saran pelayanan kesehatan yang ada diseluruh Kabupaten Jembrana

[1] Cornelis Lay & Josef Riwu Kaho, Materi Kuliah “Politik Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, PLOD UGM, Yogyakarta, 2006
[2] Paparan dari Pemerintah Kabupaten Jembrana pada forum pertemuan pada kegiatan studi governance Mahasiswa Pascasarjana PLOD, angkatan XII, tanggal 4 Desember 2006.
[3] Bambang Purwoko, Pengembangan Governance dalam Birokrasi Pemerintah, Hand Out Perkuliahan Teori dan Praktek, PLOD UGM, tanggal 12 Oktober 2006.
[4] Disarikan dari Agus Dwiyanto, 2005, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Gadjahmada University Press, Yogyakarta, h.78-83. dengan membandingkannya dengan pandangan AAGN Ari Dwipayana dan Sutoro Eko (Ed) dalam literatur Membangun Good Governance di Desa, 2003, IRE Press, Yogyakarta h. 12-13..
[5] Hanif Nurcholis, Teori dan Praktek Otonomi daerah dan Pemerintahan, Grasindo, Jakarta, tahun 2005, h.178.
[6] Hanif Nurcholis, ibid. h. 186.
[7] Agus Dwiyanto, ibid, h.147.

[8] Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, 2005, Mimpi Negara Kesejahteraan Peranan Negara dalam Produksi dan Alokasi Kesejahteraan, LP3ES-Perkumpulan PraKarsa, Jakarta, h.98-99.
[9] Makalah I Gede Winasa, Bupati Jembrana yang berjudul Paradigma Baru Pemberian Pelayanan Di Daerah, tanpa tahun.

[10] I Gede Winasa, ibid.
[11] Dalam laporan studi praktek governance ini, dikhususkan pembahasannya mengenai JKJ yang menjadi bagian dari Jamsosda dari lima jenis jaminan sosial yaitu: jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Selengkapnya dapat di lihat pasal 21 Perda No. 7 tahun 2006 tentang Pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Daerah Kabupaten Jembrana
[12] I Gede Winasa-Bupati Jembrana, Hand Out Pemerintah Kabupaten Jembrana, 4 Desember 2006
[13] Wawancara bersama Santabudi, SKM-Kepala Badan Penyelenggara Jamsosda, 4 Desember 2006