Jumat, 29 Agustus 2008

Sesat pikir menyikapi kemajemukan berbangsa

Sesat pikir menyikapi kemajemukan berbangsa
Oleh : Romi Siska Putra
[1]

Indonesia tidak hanya sekedar sebuah Negara yang berdaulat dan diakui eksistensinya oleh dunia Indonesia, tetapi Indonesia adalah sebagai sebuah. Sehingga kemudian Indonesia dikenal sebagai nation-state.
Pada konteks nation-state yang bernama Indonesia ini, umur bangsa Indonesia memiliki rentang sejarah yang cukup jauh dengan lahirnya Negara Indonesia, bangsa Indonesia sudah ada sejak zaman kerajaan, sebutlah misalnya kerajaan Sriwijaya di sumatera selatan, kerajaan Majapahit di jawa, ataupun beberapa kerajaan yang ada di Indonesia bagian timur. Sejarah kerajaan-kerajaan inilah yang kemudian merekonstruski dan menjadi pilar lahirnya bangsa Indonesia yang memiliki karakter budaya yang beragam tetapi terintegrasi menjadi sebuah bangsa yang satu.
Perlu diketahui kerajaan itu sudah ada sejak periode awal abad masehi, sebutlah misalnya kerajaan sriwijaya di pulau Sumatera, kerajaan Majapahit di Jawa. Sriwijaya bahkan menjadi kerajaan yang mencakup wilayah kekuasaan yang luas mencapai beberapa Negara asia tenggara seperti Malaysia, Kamboja, dan yang lainnya. Begitu juga dengan kerajaan Majapahit yang semakin meneguhkan kejayaan nusantara yang akhirnya bernama Indonesia.
Signifikansi perbedaan umur sejarah yang sangat jauh ini menjadikan kita gagal dalam mengambil sikap untuk mengintegrasikan segala kemajemukan yang terintegrasi dalam bangsa Indonesia sehingga menjadi kekuatan bagi Indonesia untuk menjadi bangsa yang besar dan disegani oleh bangsa dan Negara yang lain. Bahkan terkadang para elit-elit bangsa dan Negara kita salah dalam menyikapi kondisi ini semua (kemajemukan agama, suku, ras, ataupun budaya). Kemajemukan kita akhirnya melahirkan sekat-sekat wilayah yang kemudian menjauhkan interaksi antar sesama bangsa Indonesia baik Indonesia bagian barat, tengah, ataupun timur. Semangat kebangsaan adalah semangat yang akhirnya melahirkan hegemoni budaya yang satu terhadap yang lainnya ataupun bisa jadi determinasi yang kemudian secara perlahan-lahan mereduksi nilai-nilai budaya daerah yang lain. Begitu pula dengan persoalan nasionalisme yang harapannya menjadi ruh yang kemudian menyatukan sebagai bangsa yang satu, namun kemudian yang terjadi adalah nasionalisme yang akhirnya hanya “mematikan” budaya daerah-daerah yang ada di nusantara ini karena hegemoni yang lain. Nasionalisme yang merupakan semangat kebangsaan untuk menyatukan kemajemukan bangsa mulai dari agama, ras, suku, ataupun budaya yang ada, akhirnya tidak dapat dipungkiri melahirkan upaya-upaya yang kemudian mereduksi nilai-nilai nasionalisme itu sendiri. Disintegrasi bangsa yang mengancam saat ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari implikasi kebijakan pemerintah atau sesat pikir yang kemudian menyebabkan lahirnya ke-tidakarif-an dalam menyikapi kemajemukan yang ada di masyarakat Indonesia yang terbentang dari sabang sampai merauke.
Realitas yang terjadi diatas adalah bagian dari implikasi dari era sentralisasi yang dijalankan selama orde baru, yang kemudian menjadi bukti nyata kalau kemajemukan itu hanya menjadi symbol atau jargon belaka, kemajemukan yang ada disikapi dengan penyeragaman budaya atau nasionalisme adalah identik dengan penyeragaman, sehingga kearifan local yang seharusnya menjadi langkah strategis untuk menyikapi kemajemukan yang ada jauh dari harapan. Kearifan local adalah langkah yang pas untuk menjaga kelestarian dan kebertahanan segala potensi budaya yang ada. Namun sekali lagi, yang dilakukan oleh pemerintah misalnya adalah penyeragaman-penyeragaman. Kita ambil contoh yang sederhana tentang persoalan penyeragaman makanan pokok seperti jagung, gandum, sagu, dan nasi yang kemudian disamakan menjadikan nasi sebagai bahan pokok, yang kemudian melahirkan kebijakan swasembada pangan (:beras) oleh pemerintah. Pada awalnya persoalan ini tidak memberikan implikasi yang cukup serius, namun akhirnya menjadi bumerang tersendiri bagi pemerintah, sebutlah misalnya ketika pemerintah mengalami kekurangan stok beras dan harus mengimpor dari luar negeri atau Negara tetangga misalnya, yang menyebabkan harga beras naik cukup tinggi sehingga memberatkan bagi masyarakat kecil yang memiliki daya beli yang rendah. Akhirnya fakta memperlihatkan terjadinya busung lapar di beberapa daerah adalah implikasi dari kebijakan pemerintah dan sesat pikir terhadap kemajemukan yang ada. Yahokimo adalah merupakan salah satu contoh kotemporer yang membuktikan sesat pikir terhadap penyikapan kemajemukan yang ada, Yahokimo merupakan daerah terpencil di provinsi Papua yang pada awalnya menjadikan umbi-umbian sebagai makanan pokok kemudian harus gigit jari ketika sebagian masyarakatnya mengalami busung lapar ketika penyeragaman makanan pokok menjadi nasi yang sudah cukup lama sejak orde baru yang dilakukan pemerintah. Di beberapa daerah Nusa Tenggara Barat (NTB) juga mengalami hal yang sama ketika busung lapar melanda sebagian masyarakat tersebut, dan menurut penulis banyak fakta-fakta yang bisa saja terjadi namun tidak terekspose oleh media massa atau memang sengaja ditutupi oleh pemerintah sehingga seakan-akan tidak terjadi persoalan apa-apa pada konteks ini.
Bhineka Tunggal Ika dimaknai bahwa perbedaan atau kemajemukan yang ada tidak kemudian membuat kita terhalang-halangi untuk bersatu, artinya ada semangat persatuan dan kesatuan sebagai bangsa yang satu yaitu Indonesia. Namun persoalannya, Bhineka Tunggal Ika hanya berhenti pada batas sebagai jargon dan symbol kesatuan bangsa saja, namun realitasnya tetap saja jauh dari harapan. Konflik yang terjadi di tingkat local merupakan indikasi yang jelas karena kesalah pahaman kita dalam menyikapi perbedaan atau kemajemukan berbangsa selama ini. Papua adalah bagian dari Indonesia tapi bukan kemudian ia harus disamakan dengan masyarakat jawa misalnya, masyarakat ambon pun tidak sama dengan masyarakat sunda. Semua daerah memiliki kekhasan tersendiri yang tentunya merupakan satu kebanggaan pada kita sebagai bangsa yang besar dengan segala kemajemukannya. Culture masing-masing daerah harus disikapi dengan kearifan local yang berangkat dari semangat nasionalisme yang benar, bukan nasionalisme yang sebenarnya adalah bentuk hegemoni pemerintah -yang merepresentasikan salah satu budaya- terhadap daerah yang lainnya di Indonesia.
Era desentralisasi sebenarnya adalah i’tikad yang baik dari elit bangsa yang lahir dari rahim reformasi yang juga menandai kembalinya proses demokratisasi di Indonesia untuk menyikapi segala kemajemukan yang dimiliki oleh bangsa ini. Desentralisasi dianggap sebagai system pemerintahan yang diharapkan bisa melahirkan kearifan local terhadap kemajemukan yang ada. Karena desentralisasi memang mengharuskan dan menuntut ruang-ruang yang besar bagi daerah untuk mengatur daerahnya masing-masing tanpa intervensi yang berlebihan dari pemerintah pusat. Desentralisasi itu kemudian diwujudkan dengan format otonomi daerah yang merupakan salah satu dari tuntutan visi reformasi. –yang dipelopori oleh gerakan mahasiswa-. Otonomi daerah harapannya menjadikan setiap daerah bisa lebih eksis baik pada konteks pemerintahan dan terutama pada konteks eksistensi dari budaya-budaya yang menjadi salah satu bagian penting dari kemajemukan yang kita miliki.
Otonomi daerah ternyata pun tidak memberikan cerita yang indah seperti yang diharapkan. Setidaknya kasus konflik yang melibatkan antar suku yang kemudian berujung pada sentiment agama yang berada di beberapa daerah di Indonesia timur misalnya menjadi hal yang tidak bisa dipungkiri. Konflik karena persaingan dalam pemilihan kepala daerah yang lahir karena perebutan kekuasaan atau tampuk kepemimpinan daerah terjadi di beberapa kabupaten di Kalimantan dan Sulawesi adalah berangkat dari fanatisme kesukuan atau keagamaan yang berlebihan. Dan lagi-lagi ini adalah kegagalan kita untuk bersikap dewasa dalam perbedaan atau kemajemukan yang ada atau bisa jadi ini juga bagian dari ujian untuk kesekian kalinya terhadap kemajemukan yang dimiliki bangsa ini.
Realitas diatas adalah bagian-bagian dari ujian kedewasaan kita untuk menyikapi kemajemukan yang ada di nusantara ini. Karena seharusnya kemajemukan itu menjadi kekuatan yang positif bagi kemajuan bangsa ini, namun yang terjadi adalah kemajemukan itu melahirkan hal-hal yang kemudian menghalangi negeri ini untuk menjadi negeri yang besar, memiliki kehormatan dan jati diri bangsa yang merdeka.
Kearifan local terhadap keunikan dari potensi-potensi yang dimiliki daerah baik itu suku, agama, ras, ataupun budaya adalah langkah yang strategis untuk menjadikan kemajemukan itu menjadi kekuatan yang positif bagi bangsa ini

[1] Mahasiswa Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, juga sedang menjabat Sekjend KAMMI DIY periode 2004-2006

PILKADAL : ANTARA DEMOKRASI DAN BIROKRASI


Reformasi yang merupakan klimaks dari berkuasanya orde baru sebagai rezim totaliter, memberikan implikasi yang sangat besar untuk terbukanya kembali tabir-tabir demokrasi yang sudah lama disimpan dan membusuk di “gudang” kekuasaan orde baru. Demokrasi menjadi sebuah barang yang sangat mahal pada waktu itu, bahkan boleh dikatakan tidak ada demokrasi. Demokrasi pada waktu itu hanya sekedar symbol dan jargon, demokrasi yang tidak lebih hanya sekedar prosedural, dan parahnya lagi semua itu di-setting- untuk kepentingan dan legitimasi penguasa untuk tetap berada pada puncak kekuasaannya. Sekarang, tabir itu sudah terbuka lebar yang kemudian memberikan ruang-ruang kebebasan bagi rakyat dari segala sektor. Kebebasan untuk mengekspresikan kesadaran kritis mereka yang sudah lama dibungkam dan mendapat tindakan represif dari rezim pada saat itu.
Demokrasi yang ada saat ini tidak lagi seperti zaman orde baru yang hanya menjadi sekedar wacana yang menjadi bahan diskusi bagi kalangan akademis, aktivis gerakan mahasiswa, maupun elemen gerakan lain yang peduli akan demokratisasi di Indonesia. Diskursus yang terlokalisir pada ruangan-ruangan yang harus dijamin “aman” dari jangkauan dan spionase penguasa waktu itu. Namun, sekarang adalah bagaimana kemudian demokrasi yang hanya menjadi wacana menjadi praksis demokrasi. Beberapa pemikir-pemikir politik memaknai demokrasi tidak akan efektif dan lestari tanpa adanya substansi demokrasi tidak hanya dari sisi prosedural, berupa; jiwa, kultur atau ideologi demokratis yang mewarnai pengorganisasian internal partai politik, lembaga-lembaga pemerintahan, serta perkumpulan-perkumpulan kemasyarakatan. Habermas misalnya merumuskan masyarakat demokratis sebagai masyarakat yang memiliki otonomi dan kedewasaan (Mundigkeit). Otonomi kolektif semacam itu berhubungan dengan pencapaian konsensus bebas dominasi. Habermas mengandaikan bahwa konsensus itu bisa dicapai dalam sebuah masyarakat yang komunikatif. Dalam masyarakat komunikatif dimungkinkan anggotanya membentuk suatu opini publik melalui diskusi-diskusi publik diantara mereka yang akhirnya ikut menentukan kekuasaan. Diskusi semacam ini hanya mungkin dilakukan di dalam suatu wilayah sosial yang bebas dominasi. Wilayah ini disebut public sphere. Adanya ruang publik memungkinkan anggota masyarakat berpartisipasi untuk menentukkan jalannya kekuasaan di dalam suatu komunitas.
Dilema demokrasi dan birokrasi
Berbicara persoalan demokrasi sebetulnya kita tidak bisa melepaskan dari peran-peran Negara, dan Negara juga tidak bisa dilepaskan dari birokrasi. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana relevansi antara demokrasi dan birokrasi. Apakah keduanya memiliki hubungan timbal balik atau salah satunya yang memberikan pengaruh terhadap yang lain. Tiga thesis Etzioni-Halevy menguraikan secara argumentatif hubungan antara demokrasi dan birokrasi, pertama, birokrasi adalah dilema bagi demokrasi, birokrasi yang kuat dan mandiri diperlukan utk mencegah political corruption; namun birokrasi yang kuat dapat menjadi ancaman bagi demokrasi karena birokrasi mampu lepas dari kontrol politik dan akuntabilitas demokrasi. Kedua, demokrasi memberi dilema bagi birokrasi, tata demokrasi mengharuskan birokrasi untuk non-politis sekaligus politis pada saat yang bersamaan. Birokrasi diharapkan menjadi subjek tanggung jawab politisi dan pada saat yang sama bertanggung jawab untuk tindakan yang dilakukannya sendiri. Ketiga, ambiguitas peran birokrasi bisa memunculkan friksi politik. Karena peran birokrasi yg tak didefinisikan secara jelas, birokrat senior kerap memasuki kawasan yang remang-remang: tak jelas domain birokrasi atau domain politik. Akibatnya terjadi reaksi balik dari politisi senior yang merasa wilayah kewenangannya diintervensi.
Menarik untuk membicarakan demokrasi dan birokrasi pada masa pasca runtuhnya orde baru. proses demokratisasi pasca jatuhnya orde baru ditandai dengan berubahnya system pemerintahan yang sentralistik menjadi desentralistik. Sistem pemerintahan yang sentralistik menjadi system yang melahirkan trauma bagi masyarakat pro-demokrasi, karena sentralistik selama ini sejarah membuktikan menjadi legitimasi dan kepentingan penguasa yang berada di pemerintahan pusat. Oleh karena itu, sangat beralasan jika kemudian masyarakat menuntut untuk digulirkannya desentralisasi. desentralisasi yang kemudian diwujudkan dengan konsep otonomi daerah, yang diharapkan memberikan ruang-ruang yang lebih besar kepada daerah untuk mengatur daerahnya masing-masing. Setidaknya desentralisasi ini dapat dilakukan pada dua hal yaitu desentralisasi fungsional yang diikuti dengan desentralisasi fiscal. Desentralisasi fungsional adalah wewenang yang diberikan kepada daerah terhadap desentralisasi fiscal yang diberikan oleh pusat dalam bentuk subsidi sehingga daerah memiliki otoritas untuk menggunakan subsidi untuk pembangunan daerahnya masing-masing.
Konsekuensi dari otonomi daerah adalah semakin besarnya ruang-ruang demokratisasi, yang salah satunya diwujudkan dengan pemberian otoritas kepada daerah untuk menentukan siapa pemimpin mereka di setiap masing-masing daerah. Mekanisme itu kemudian disepakati dalam bentuk Pemilihan kepala daerah (pilkadal). Pilkadal ini pun sudah berjalan di seluruh daerah Indonesia mulai dari tingkat provinsi maupun kota/kabupaten di seluruh Indonesia. Demokratisasi pada tingkat lokal semakin meningkat tidak dapat dipungkiri menjadi bagian dari sisi positif desentralisasi karena memang masyarakat sudah semakin dekat dengan kekuasaan. Sehingga beberapa fakta membuktikan pada pilkadal di Indonesia tingkat partisipasi politik masyarakat semakin baik artinya masyarakat sudah cukup cerdas untuk menyampaikan aspirasinya.
Antusiasme dari masyarakat terutama elit-elit politik di tingkat lokal pada konteks pilkadal bisa jadi bagian dari “ketergiuran” akan desentralisasi fiscal yang diberikan oleh pusat, karena menurut pandangan mereka bahwa masyarakat masih dalam tahap proses belajar berdemokrasi sehingga control yang dilakukan agak longgar. Asumsi inilah yang kemudian menyebabkan berpindahnya basis terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dari pusat ke daerah, yang akhirnya dikenal istilah lahirnya “bos-bos kecil” di tingkat lokal, ini pula hal yang tidak bisa dipungkiri menjadi sisi negative dari otonomi daerah. Sehingga wajar kemudian pilkadal menggambarkan benturan banyak kepentingan (the clash of interest), akhirnya memberikan peluang-peluang konflik yang mungkin juga melahirkan tindakan anarkhisme.
Politisasi birokrasi
Ideal type Birokrasi Weberian mengatakan bahwa birokrasi bersifat profesional, hierarkis, hubungannya bersifat impersonal dan rasional sehingga Weber secara tidak langsung mengatakan bahwa birokrasi harus bersifat netral. Namun, pada konteks birokrasi Indonesia tidak seideal yang dikatakan oleh Weber. Birokrasi Indonesia adalah birokrasi yang tidak bisa dilepaskan dari kultur feodal masyarakatnya, sehingga birokrasi Indonesia itu lebih bersifat patrimonial (patron-client), dimana hubungan yang ada adalah bersifat emosional akhirnya menafikan netralitas dari birokrasi.
Istilah politisasi birokrasi berhubungan dengan persoalan diluar birokrasi itu sendiri, artinya relevan dengan pembicaraan diawal tadi bahwa demokrasi menjadi dilema bagi birokrasi. Akhirnya pada konteks politik, seperti pilkadal, birokrasi menjadi sebuah hal yang harus tunduk kepada kepentingan penguasa untuk kepentingannya. Karena sifat dari birokrasi yang hierarkis menyebabkan ia harus patuh kepada struktur yang berada diatasnya (penguasa). Pada pilkadal, persoalan politisasi birokrasi menjadi persoalan yang sering kita temui. Birokrasi menjadi alat politik bagi calon incumbent (calon yang sebelumnya sudah menjabat sebagai kepala daerah) untuk mempertahankan kekuasaannya. Persoalan yang terkadang muncul adalah menilai apakah birokrasi itu dipolitisir untuk kepentingan salah satu bakal calon misalnya, terkadang juga menjadi hal yang agak sulit memang. Mulai dari gaya-gaya politisasi birokrasi yang cukup “cantik” sampai kepada yang agak “vulgar” biasanya bisa kita temui. Kita ambil contoh misalnya salah satu pilkadal yang terjadi di kabupaten Siak, salah satu kabupaten di provinsi Riau. Mutasi pegawai dalam hal ini adalah Camat dilakukan oleh calon incumbent, pemutasian itu dilakukan terhadap beberapa camat yang pro kepada calon incumbent dan memindahkan pada posisi-posisi yang strategis untuk menjaring massa bagi sang calon. Bentuk politisasi birokrasi yang agak sedikit “cantik” biasanya dilakukan adalah dengan memperbanyak agenda-agenda populis diakhir-akhir masa jabatan, terkadang juga dengan sengaja mengundurkan waktu pelaksanaan program yang langsung bersentuhan dengan basis massa (grass root) pada waktu-waktu menjelang pilkadal.
Dilema demokrasi bagi birokrasi yaitu terjadinya politisasi, akhirnya menjadikan birokrasi sebagai posisi yang selalu dilemahkan. Apakah misalnya perlu kita melontarkan gagasan untuk membiarkan birokrasi untuk berpolitik? sebagai jawaban atas politisasi itu. Tapi bagaimana kemudian dengan peran-peran birokrasi sebagai tulang punggung Negara untuk melayani masyarakat. Sehingga menurut hemat penulis, birokrasi tetap saja pada peran-perannya yang seharusnya dan bersifat netral. Untuk mereduksi politisasi itu harapannya masyarakatlah yang bisa melakukan fungsi-fungsi control terhadap itu semua, sehingga netralitas birokrasi tetap bisa dipertahankan
Realitas yang dipaparkan diatas menjadi fenomena politik yang terjadi di banyak daerah. Sehingga birokrasi seakan-akan tidak bisa berbuat apa-apa. Nafsu untuk berkuasa terkadang membuat orang bisa melakukan apa saja, dan kelihatannya madzhab politik Machiavelli –yang menafikan persoalan cara dalam meraih tujuan politik- lagi menjadi trend para politisi kita saat ini baik pada tingkat lokal maupun di tingkat nasional.
Pilkadal “bersih”
Pilkadal bersih adalah menjadi harapan kita semua, namun persoalannya adalah benturan kepentingan (the clash of interest) menjadikan harapan itu semakin terpinggirkan. Oleh karena itu, realitas politik yang tidak bisa dilepaskan dari kecurangan politik dengan berbagai macam ragamnya, untuk konteks politisasi birokrasi yang harus dilakukan adalah adanya kontrol internal dan eksternal, dari eksternal dapat diperankan oleh masyarakat (civil society), sedangkan untuk internal birokrasi harus memberikan ruang-ruang untuk bagi birokrasi sendiri untuk dikontrol, misalnya dengan membentuk semacam lembaga independen yang berasal dari personal birokrasi, tapi sekali lagi bahwa birokrasi harus bersedia untuk dikontrol.
Korelasi antara demokrasi, birokrasi, dan pilkadal semakin jelas kita temukan relevansinya pada tingkat lokal. Demokrasi memberikan ruang-ruang kebebasan untuk berekspresi, tapi tidak kemudian kebebasan itu melanggar apa yang menjadi hak orang lain. Pilkadal adalah wujud dari proses demokratisasi yang ada di tingkat lokal, pilkadal yang harus dibangun adalah mendidik masyarakat untuk berdemokrasi yang baik, tetapi berbeda jika kemudian pilkadal dihiasi dengan kecurangan-kecurangan dengan menghalalkan segala cara maka ruang-ruang terjadinya the clash interest yang berujung pada konflik bisa saja terjadi. Politisasi birokrasi dalam pilkadal merupakan hal yang mencoreng arti hakikat demokrasi, karena menjadikan birokrasi kehilangan haknya untuk bekerja sesuai dengan mekanisme yang telah ditetapkan untuk melakukan pelayanan kepada public secara professional, netral, dan rasional.

Reposisi KAMMI di Era Otonomi Daerah



(refleksi seorang aktivis)[1]


Reformasi..., para analis politik sepakat bahwa ini adalah babak baru dalam perjalanan demokrasi di Indonesia. Kotak pandora kembali terbuka dari ketabuan yang dibungkam oleh orde baru selama 32 tahun dengan gaya otoritarian yang sempurna tanpa cacat. Gerakan mahasiswa dan gerakan pro-demokrasi lainnya patut gembira dengan turun ke prabon-nya Soeharto dari kepemimpinan nasional. Dalam perspektif elit, Soeharto telah menjadi titik sentral dari pertarungan lingkaran-lingkaran elit yang berada di bawahnya, posisi sentral Soeharto adalah kunci dari arah dan bentuk kebijakan-kebijakan politik selama orde baru.
Model kepemimpinan dengan mitos jawa yang digunakannya menjadikan Soeharto sangat patut untuk dikagumi sebagai orang yang mampu mempertahankan kekuasaannya dalam periode yang cukup lama. Kekuasaan yang sulit ditembus oleh elit politik yang berada di luar lingkaran elit Soeharto waktu itu, sehingga wajar kemudian Soeharto bisa bertahan selama 32 tahun. Ini semua hanyalah sejarah, memang, tapi hati-hati dengan sejarah karena dia bisa jadi akan berulang. Sejarah adalah ruang bagi kita untuk melakukan ”Muhasabah gerakan”, dan kata orang kesadaran sejarah kita sangat rendah di banding bangsa lain, kita sangat gampang untuk melupakan, dan kadang memaafkan kesalahan dan kejahatan sejarah, itu dibuktikan oleh SBY dengan SP3 yang ”dipersembahkan” kepada Soeharto sebagai orang yang pernah menjadi patron beliau dan berjasa terhadap perjalanan karir politiknya.

Memahami Desentralisasi
Diskusi tentang desentralisasi senantiasa mengikuti logika perubahan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya secara legal-formal. Tidak mengherankan jika selama Orba, setidak-tidaknya sejak tahun 1974, wacana perbincangan sepenuhnya didominasi oleh pembicaraan di sekitar UU Nomor 5 tahun 1974. Lebih dari itu, pijakan diskusi tentang politik dalam aras lokal dan otonomi daerah ini lebih bertumpu pada negara yang menempatkan politik lokal lebih sebagai implikasi dari pengaturan politik nasional ketimbang sebagai sesuatu entitas yang independen yang secara politik inheren dalam negara modern
[2].
Dalam tinjauan teoritik maupun yang telah ditetapkan secara konstitusional, desentralisasi dimaknai pada beberapa hal, diantaranya adalah : desentralisasi fiscal dan desentralisasi fungsional. Desentralisasi fiscal diterjemahkan sebagai otoritas yang diberikan kepada daerah untuk mengelola subsidi yang diberikan melalui Dana Alokasi Umum (DAU)
[3], pada sisi lain adalah untuk mengelola sumber daya potensial yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Sedangkan desentralisasi fungsional adalah otoritas yang diberikan kepada daerah untuk mengelola sistem pemerintahan yang ada di daerah tersebut. Namun, yang paling penting bagi gerakan civil society dalam konteks desentralisasi ini adalah melihat pada sudut kekuasaan, dimana desentralisasi adalah pilihan politik yang dilakukan oleh negara untuk mendistribusikan kekuasaan yang berada di pusat selama ini kepada daerah-daerah.
Bisa dibayangkan, sistem yang telah dibangun oleh orde baru selama 32 tahun di republik ini, sistem yang hampir menyentuh pada level pemerintahan paling rendah sekalipun. Kalau kita lihat lagi dengan perspektif elit, maka yang terjadi saat ini adalah konsolidasi elit yang telah dipelihara oleh Soeharto selama puluhan tahun, maka wajar kemudian watak kepemimpinan dan birokrasi yang ada disetiap daerah adalah watak-watak orde baru. Kondisi ini menjadi catatan penting bagi gerakan civil society.

Involusi gerakan mahasiswa dan desentralisasi
Konon katanya negara yang demokratis akan mematikan gerakan mahasiswa, ini benar kalau melihat dari perspektif gerakan mahasiswa sebagai pressure group dan check and balance. Menurut saya, keberadaan mahasiswa sebagai gerakan tetap saja ada, dan ini persoalan pilihan ranah gerakan saja. Menarik hasil yang dikeluarkan oleh Kompas beberapa bulan yang lalu, hasilnya mengejutkan bagi publik dan sangat menohok bagi gerakan mahasiswa. Hasil riset itu sampai pada kesimpulan bahwa signifikansi peran gerakan mahasiswa jauh dari harapan dan khittohnya-untuk tidak mengatakan matinya gerakan mahasiswa. Kalau mengacu pada hipotesis tadi, kita bisa saja secara gamblang menyimpulkan ”negara kita sudah demokratis, dong!!.”, benarkah?kompas bisa jadi benar, kata parameter yang digunakan adalah signifikansi peran gerakan mahasiswa pada tataran issu nasional. Tapi, bukankah kondisi pada tataran issu lokal juga mengalami hal yang demikian?
Mari kita alihkan perhatian kita sebentar pada konstelasi politik lokal, siapa tahu ada yang menarik, dan siapa tahu gerakan mahasiswa kembali menemukan ”jati dirinya”. Setidaknya ada beberapa catatan penting untuk memahami struktur politik pada aras lokal, mulai dari birokrasi, elit, civil society, kekuatan pemodal, pemerintahan lokal, dan sebagainya.
1. Birokrasi patrimonial, mengkaji dan memahami birokrasi kita maka kita tidak bisa melepaskan dari kondisi sosiologis masyarakat kita yang bersifat patron-klien dan feodal. Birokrasi kita sangat kental dengan budaya patrimonial, dimana logika yang digunakan adalah logika kedekatan emosional sehingga sangat memungkinkan terjadinya birokrasi yang berpihak kepada kepentingan golongan dan perlu dimaklumi kalau kemudian persoalan KKN menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan dari birokrasi kita.
2. Kebohongan Good Governance, pada tataran konseptual Good Governance memang menuntut sinergisitas antara negara, swasta, dan masyarakat. Cuman, realitasnya yang terjadi di daerah-daerah adalah eksploitasi masyarakat yang dilakukan oleh negara yang “berselingkuh” dengan swasta. Banyak peraturan daerah (perda) yang tidak memihak pada kepentingan masyarakat.
3. Produksi Elit Orde Baru, pseudo-democracy (demokrasi semu) yang dialami oleh Indonesia saat ini diiringi dengan reproduksi elit yang tiada henti. Apalagi memasuki era desentralisasi, elit semakin menemukan momentum dan ruang untuk melakukan reproduksinya untuk melahirkan generasi-generasi elit yang akan semakin menguatkan struktur jaringan mereka. Ketika kondisi ini tetap stabil maka kejomplangan kekuasaan akan semakin kentara, karena kekuasaan terlokalisir pada kelompok kecil saja yang bernama elit.
4. Kapitalisme-sasi Pemerintahan Lokal, globalisasi menjadi biangnya memang, tapi jangan pernah menyalahkan globalisasi karena ia merupakan keniscayaan, kata yang pro-globalisasi. Terlepas dari perdebatan tentang globalisasi, yang pasti globalisasi telah menjadikan kekuatan pemodal besar berkecimpung dalam kompetisi pasar lokal, yang akhirnya meluluh-lantakkan ekonomi mikro rakyat lokal. Mall-isasi yang marak sekarang adalah bentuk dari pemerintah lokal yang berwatak kapitalistik, dimana peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dijadikan sebagai parameter untuk mengukur pertumbuhan ekonomi, sehingga dibangunlah mall-mall yang bisa memberikan besaran pajak bagi PAD, tanpa memikirkan di sudut-sudut daerah tersebut pasar-pasar tradisional sebagai simbol ekonomi mikro masyarakat lokal mengalami gonjang-gonjang bahkan hilang dari dunia ”per-pasar-an”
5. ide welfare state, terlalu muluk memang kita bicara welfare state (negara kesejahteraan) di Indonesia, bahkan bisa dibilang mimpi di siang bolong atau gila sekalipun. Tetapi yang penting adalah jangan pernah berhenti berharap, karena bisa jadi itu ”harta” satu-satunya yang masih dimiliki oleh bangsa ini. Tetapi, anda bisa juga keliru dengan asumsi itu, mari kita sejenak itu mendengar cerita dari salah satu kabupaten kecil di Provinsi Bali sana, yaitu Jembrana. Sebagai penegasan ini bukanlah cerita dari negeri dongeng, tapi sebuah fakta yang telah terjadi di salah satu daerah kecil di Bali.
Jembrana, awalnya tidak dikenal di bali, orang lebih paham akan pantai kuta, tanah lor, dan tempat pariwisata lainnya yang ada di Bali. Akan tetapi setelah memasuki otonomi daerah, Jembrana seakan ”naik daun” dan terkenal. Apa yang menarik di Jembrana?. Kalau mendengar sekolah gratis di kabupaten Kutai Kertanegara, itu wajar karena daerahnya adalah kabupaten dengan PAD terbesar di Indonesia. Bagaimana dengan Jembrana? Jembrana adalah kabupaten dengan PAD pada tahun 2001 hanya sebesar Rp. 4,7 milyar termasuk kecil dibanding daerah yang lain, fenomena yang sangat kontras dengan kabupaten tetangganya di Bali, yaitu Badung, yang PAD-nya saja sampai Rp. 400-an milyar, dengan digabungkan dengan DAU saja Jembrana belum bisa melewati capaian PAD Badung. Dengan kondisi sumber daya yang dimiliki, pemerintahan Jembrana justru bisa menggratiskan SPP sekolah negeri dan beasiswa bagi yang di sekolah swasta melalui Surat Keputusan Bupati I Gede Winasa, yang awal tahun 2006 di-perda-kan. Tidak itu saja, pemda Jembrana juga mengeluarkan pelayanan kesehatan gratis pada level Penyelenggara Pelayanan kesehatan pada tingkat I dengan pelayanan rawat jalan dan rawat jalan lanjutan dan ketentuan lainnya. Dan beberapa kebijakan gratis yang diberikan oleh pemda untuk masyarakatnya.
Sekali lagi ini bukan berarti dongeng. Dari riset yang telah dilakukan oleh Penulis dan kawan-kawan lakukan di Bali. Ide dari semua kebijakan itu berangkat dari semangat welfare state. Jembrana dipimpin oleh seorang Profesor yang bernama I Gede Winasa, semua kebijakan diatas adalah inisiasi dari sang Bupati berdasarkan keluhan-keluhan dan persoalan-persoalan yang dialami oleh masyarakatnya. I Gede Winasa seakan membuktikan dirinya seorang ”Intelektual Profetik” kepada pemimpin di negeri ini. Yang menjadi catatan adalah persoalan Good will dari pemimpin kita dan diperkuat dengan kepemimpinannya dalam mereformasi birokrasi yang bisa mendukung kebijakan yang ia keluarkan nantinya. Bahkan pemerintah daerah pun bisa memiliki bargaining position dengan pihak pemodal (swasta) yang menjadi momok pemda selama ini. Jembrana yang miskin tetapi memiliki pemimpin yang memiliki Good will yang besar terhadap persoalan rakyat, didukung dengan kekuatan birokrasi, akhirnya bisa memberikan kepada kita bahwa dengan kondisi yang serba kekurangan dalam potensi lokal tidak menghalanginya mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang populis bagi masyarakatnya.
6. hati-hati dengan Pilkadal, seringkali pemilu menjadi parameter untuk melihat demokratisnya sebuah negara maupun daerah. Bagi saya, demokrasi bukan hanya persoalan prosedur tetapi bagaimana kemudian sistem yang ada bisa memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Pilkadal yang hampir sudah terlaksana di kab/kota Indonesia, bahkan DIY semuanya sudah dapat jatah. Kebobrokan sistem pemilu, kacaunya organisasi yang bernama partai politik, dan moralitas para elit yang berkuasa, realitas inilah yang menjadi sistem tempat bergulirnya pilkadal. So, berhati-hatilah dengan pilkadal, karena tidak menjamin semuanya akan lebih baik atau justru pilkadal hanya untuk memperkuat status Quo dan terjadinya reproduksi elit yang tiada henti.
7. Perkuat gerakan Civil society, dalam kajian teori politik, banyak teori atau perspektif yang digunakan untuk melihat civil society (sebagai asosiasi, sebagai nilai, maupun gerakan sosial). Mulai dari John Lock sampai dengan Cak Nur, mereka memiliki perspektif tersendiri tentang itu. Akan tetapi simpul wacana dari berbagai perspektif tersebut adalah Kebangkitan gagasan dan praktek penguatan Civil society adalah ekspresi perlawanan terhadap dominasi negara dan pasar dalam kehidupan publik
[4]. Gerakan mahasiswa bersama organisasi civil society lainnya (LSM, Gerakan Islam, dan lain sebagainya) harus melakukan konsolidasi gerakan.

Beberapa point diatas adalah issu yang marak dibicarakan belakangan ini, dan sebagai gerakan mahasiswa tentunya memiliki perspektif sendiri untuk mentafsirkan itu semua dan melakukan reposisi, biar ngga dikira gerakan ”ketinggalan zaman”.
Reposisi harus segera dilakukan oleh gerakan mahasiswa biar tidak terjebak pada issu-issu nasional yang terkadang adalah building opinion yang dibentuk oleh media saja, tetapi bukan kemudian kita menafikan issu-issu nasional, misal issu kepemimpinan nasional, kebijakan nasional, dan sebagainya. Tetapi posisi ditingkat lokal juga harus ”dipikirkan”, bukankah di tataran lokal kita bisa menemukan persoalan yang riil dari masyarakat yang dirugikan oleh ketidakberpihakan pemerintah daerah. Sebagai contoh riil adalah bagaimana dengan nasib PKL dulu yang ada sepanjang selokan mataram, bukankah pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan relokasi, tapi bagaimana kenyataannya? Dari data salah seorang teman, kebijakannya sampai saat ini masih menjadi persoalan karena para PKL dihadapkan pada biaya sewa kios yang terlalu mahal bagi mereka. Belum lagi persoalan rancangan perda-perda yang digodok dan akan disyahkan, siapa yang memperjuangkan itu semua jika tidak berpihak kepada masyarakat, memang masih ada gerakan sosial yang lain, tetapi ini adalah celah bagi gerakan mahasiswa setidaknya untuk menemukan kembali jati dirinya sebagai ”pejuang rakyat”, ngitung-ngitung membantah riset yang dilakukan oleh kompas.
Oleh karena itu, gerakan mahasiswa termasuk KAMMI di dalamnya harus segera keluar dari ruang ”involusi” itu, memasuki dunia nyata yang bernama ”desentralisasi”, bergerak, dan berbuat untuk umat.
Wallahu a’lam bishowab
[1] Aktivis itu bernama Akhuna Romi Siska Putra, Alumni Mahasiswa S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah (PLOD) UGM, Sekjend KAMMI DIY Periode 2004-2006. ku tulis ketika detik-detik kepengurusan itu akan segera berakhir di suatu malam yang sunyi dusun krikilan, Monjali.
[2] Cornelis Lay, pada salah satu makalah pengantar diskusi di S2 PLOD UGM
[3] DAU adalah semacam “jatah” yang diberikan pada masing-masing daerah, yang salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya adalah faktor fiscal need dari setiap daerah.
[4] AAGN Ari Dwipayana, dalam salah satu tulisan pengantar diskusi S2 PLOD UGM

Renaisance Intelektual Muda Muslim di Indonesia


Oleh : Romi Siska Putra, M.Si


“InsyaAllah kejayaan yang pernah kita miliki seribu tahun yang lalu akan kita kembalikan lagi, dan saya berharap Indonesia akan menjadi
pemimpin kebangkitan Islam ini
(Prof. Dr. Yusuf Al-Qaradhawi)

Terlepas dari terlalu berlebihan atau tidak apalagi untuk sekedar latah, tapi tema ini anggap saja menjadi bagian yang kemudian melahirkan ruang-ruang optimisme, sumber energi, atau bahkan bisa jadi memperjelas dan mempertegas orientasi dari keniscayaan peran dan tugas kita sebagai seorang intelektual muslim yang kita emban.
Kalaulah kita sepakat bahwa kejayaan Islam adalah kejayaan yang dihiasi dengan tingginya produktivitas para ilmuwan dan pemikir Islam dalam menghasilkan karya-karya ilmiah mereka, sebutlah Ibnu Sina (kedokteran), Ibnu Khaldun (filsafat sejarah), Al-Ghazali (tasawuf), Al-farabi, Ar-Razi, dan sebagainya. Maka tugas-tugas intelektual kita merupakan sebuah aksioma atau keniscayaan untuk awalan cita-cita besar yaitu Renaisance Intelektual Muda Muslim.
Tidak berlebihan juga ketika Prof. Yusuf Qharadhawi berharap bahwa Indonesia akan menjadi pelopor dari lahirnya peradaban itu (Islam), dan menurut saya ungkapan itu bukan tanpa alasan tapi merupakan penilaian yang rasional dan obyektif, setidaknya ada beberapa hal yang menjadi argumentasi itu, pertama, Indonesia adalah Negara yang mayoritas Muslim terbesar di dunia, kedua, geliat pergerakan Islam di Indonesia, bahkan gerakan Islam yang terlibat dalam konstelasi politik mulai mendapat simpati kembali, yang di satu sisi mulai menjadi competitor serius bagi gerakan politik nasionalis, yang selama ini menjadi penguasa di republik ini, ketiga, beberapa gerakan Islam yang memiliki visi internasional dan concern dengan issu-issu global, yang dianggap menjadi kekuatan yang mengancam kekuatan politik global. Argumentasi ini seharusnya juga disadari umat Islam di Indonesia untuk menangkap semangat zaman (zet geits) itu dan mengambil kendali serta menjadi nakhoda bahtera peradaban yang lebih baik.
Namun, sekedar refleksi bagi kalangan intelektual muslim saat ini adalah harus diakui secara jujur bahwa kita sudah tercerabut dari akar ke-Islaman kita. Pada konteks ilmu pengetahuan, referensi basis epistimologis (ilmu tentang pengetahuan manusia) atau worldview dan metodologi, para intelektual Muslim kita tidak sedikit yang berpijak pada epistimologis dan metodologi sekuler barat dalam melakukan penafsiran-penafsiran terhadap Islam, sehingga wajar jika kemudian tafsiran yang lahir adalah tafsiran yang bersandarkan pada nilai-nilai sekuler. Realitas ini kemudian melahirkan krisis yang serius dalam perkembangan basis pemikiran dan pengetahuan di kalangan umat Islam. Yang terjadi adalah kehilangan jati diri, tereduksinya kepercayaan diri, terkikisnya keyakinan akan Islam sebagai agama yang memiliki ajaran dan nilai-nilai yang relevan dan kontekstual dengan kondisi kekinian. Sebetulnya dalam filsafat Islam, Islam memberikan ruang-ruang yang cukup besar kepada akal untuk melakukan ijtihad atau upaya rasional yang sungguh-sungguh sehingga Islam tetap bisa dikontekstualisasikan dan menjawab persoalan up to date manusia saat ini. Namun, yang menjadi catatan adalah ijtihad itu harus berpijak pada epistimologis dan metodologi Islam, sehingga tidak terjadi pemaksaan-pemaksaan tafsiran yang rapuh dan terbantahkan.
Renaisance Islam menjadikan syari’at (nilai-nilai yang mengatur interaksi sosial dan proses kehidupan manusia) sebagai ruang-ruang untuk melakukan konseptualisasi dan teoritisasi dalam menjawab persoalan manusia saat ini. Sehingga syari’at tidak dianggap sebagai nilai yang mengkooptasi perkembangan ilmu pengetahuan atau mempersempit ruang-ruang untuk berpikir secara kreatif. Yang ujung-ujungnya adalah Islam lagi-lagi melahirkan stigma di kalangan masyarakat dunia sebagai ajaran yang tidak relevan dan kontekstual dengan kondisi kekinian.
Ini adalah realitas yang masih terkonstruksi masih kokoh dalam stigma pandangan banyak para pemikir dan ilmuwan saat ini. Sehingga tidak ada pilihan bagi pemikir dan ilmuwan Islam melakukan konseptualisasi dan teoritisasi syari’at sebagai panduan kehidupan manusia, dan pada tahap praksis secara empiris harus dibuktikan yang menjawab persoalan yang ada. Yang paling penting kemudian adalah harus tampil prototype seorang intelektual muslim yang akan menjadi pengusung cikal bakal peradaban ilmu pengetahuan itu, mereka menjadi sumber referensi peradaban. Dan perlu diingat adalah untuk melahirkan peradaban besar kita jika butuh akal-akal yang besar, berpihak pada kebaikan umat.
Prototype intelektual Muslim
Perlu ditegaskan kembali bahwa dalam Islam tidak memisahkan akal sebagai salah satu sumber pengetahuan dengan wahyu (firman Tuhan), ia merupakan dua hal yang memiliki relevansi, namun secara kedudukan wahyu berada pada level atas kebenarnya setelah akal. Artinya bahwa ada ruang-ruang besar yang diberikan Islam dalam perkembangan ilmu pengetahuan, adagium ini sekaligus membantah argumentasi yang mengatakan bahwa Islam tidak lebih dari agama ritualitas belaka. Dimana ilmu pengetahuan yang lahir tetap saja berpijak pada nilai-nilai Islam itu sendiri. Yang sekali lagi membedakan antara basis ilmu pengetahuan Islam dengan barat yang cenderung sekuler. Intelektualitas dalam Islam tetap memiliki relevansi dengan keimanan pada Sang penguasa, artinya intelektualitas itu akan menghantarkan kepada bertambahnya keyakinan akan kekuasaan Tuhan. Yang kemudian Prof. Kuntowijoyonya memfamilierkan menyebutnya dengan ilmu sosial profetik., dimana ia merumuskan bahwa intelektual itu seharusnya memiliki peran yang beliau tafsirkan dari QS.Ali-Imron 104), yaitu humanisasi, adalah mengembalikan posisi manusia sesuai dengan fitrahnya. liberasi, adalah pembebasan manusia dari ketertindasan, determinasi kelas yang menjajah kelas yang lain, kemiskinan, dan transedensi adalah ruang-ruang untuk mengakui kekuasaan Tuhan dan meningkatkan keyakinan akan kebesaran Tuhan atas segala yang ada di dunia ini.
Sehingga peran-peran seorang intelektual muda muslim adalah bagaimana kemudian tetap pada koridor-koridor peran profetik (kenabian), sehingga intelektual yang ada adalah bukan intelektual yang berada di menara gading yang jauh dari realitas sosial, namun kesadaran akan peran-peran profetik (kenabian) itulah yang harus dilakukan oleh seorang intelektual. Sehingga intelektualitas yang dimiliki adalah sesuatu hal yang bisa membawa misi-misi perubahan yang lebih baik dalam kehidupan. Intelektualitas yang diinginkan Islam adalah intelektualitas yang memiliki keberpihakan kepada kepentingan kemaslahatan umat bukan saja kepada kepentingan kelas tertentu.
Renaisance Intelektual Muda Muslim Indonesia
Renaisance intelektual muda muslim harus ditangkap sebagai zet geits, dab keniscayaan itu bukan karena hegemoni peradaban barat tetapi lebih karena tanggung jawab moral (ideologis) kita sebagai intelektual muslim untuk menghadirkan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta. Sudah saatnya kita percaya diri dengan Islam, sudah saatnya kita berpikir secara Islami yang menjadi akar dari nilai-nilai kehidupan kita, sudah saatnya tampil para intelektual muda itu lahir dari rahim Negara besar ini. Bangsa ini harus bangkit dari dekadensi moral, kerapuhan paradigma, sinergisitas antara intelektualitas dan spritualitas yang berujung pada berjalannya misi-misi profetik (kenabian). Sehingga tidak ada lagi stigma para intelektual muslim yang rusaknya secara moral, jauh dari keberpihakan pada kebaikan umat.
Akhirnya, menjadi bijak itu butuh keberania, menjadi intelektual itu butuh perjuangan, tapi yang lebih penting adalah intelektual bijak yang memiliki keberpihakan, yaitu keberpihakan pada tegaknya peradaban Islam.

Pemekaran : Kepentingan Siapa?

Oleh : Romi Siska Putra, M.Si

Selasa (24/6) yang lalu, pada sidang paripurna DPR yang dihadiri oleh Pemerintah, disyahkan sebanyak 12 Rancangan Undang Undang (RUU) tentang berdirinya daerah otonom (pemekaran). Jumlah ini akan menambah jumlah kabupaten/kota menjadi 438. Walaupun presiden SBY pernah mengatakan akan menyetop sementara untuk daerah yang ingin melakukan pemekaran. Fenomena ini sebenarnya adalah efek dari otonomi daerah itu sendiri, yaitu terbukanya luasnya kran liberalisasi politik di berbagai daerah. Efeknya adalah meningkatnya partisipasi publik masyarakat, sedangkan pada sisi lain pemerintah pusat seakan dibuat tidak memiliki alasan untuk menolak aspirasi masyarakat berbagai daerah, seperti desakan pemekaran tadi. Konsekuensi logis dari banyaknya daerah yang melakukan pemekaran tentu saja berimplikasi luas pada beban APBN. Pemerintah pusat mau tidak mau harus menambah subsidi kepada daerah, baik dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), maupun dalam bentuk yang lainnya. Ini tentu saja sebuah resiko yang harus ditanggung oleh Pemerintah karena tetap mengijinkan daerah melakukan pemekaran.
Perspektif lain yang penting untuk dikritisi lebih jauh adalah melacak kepentingan pemekaran. Pakar Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM, Cornelis Lay, menjelaskan dalam hasil studinya di berbagai daerah bahwa latar belakang pemekaran dipengaruhi oleh berbagai hal, yaitu : pertama, latar belakang kesamaan sosial - budaya. Kesamaan dan kedekatan secara sosial – budaya kadang menjadi alasan masyarakat sebuah daerah untuk melepaskan diri dan berdiri menjadi daerah yang independen (otonom) dari kabupaten/kota induknya. Kedua, latar belakang ekonomi. Keberadaan sumber daya alam yang ada di sebuah wilayah juga tidak bisa dilepaskan dari faktor yang mendorong dan mendesak dilakukannya pemekaran dari kabupaten/kota maupun induknya. Ketiga, latar belakang ketimpangan pembangunan. Dari berbagai kasus pemekaran, timpangnya pembangunan antara daerah yang secara geografis lebih dekat dengan pusat pemerintahan juga menjadi faktor desakan pemekaran tersebut. Misalnya : kasus pemekaran Kabupaten Dharmasraya di Sumatera Barat. Daerah yang menjadi kabupaten baru ini terletak di bagian selatan, dan jauh dari pusat pemerintahan yang berada di utara. Salah satu faktor yang mempengaruhi desakan pemekaran adalah, ketimpangan pembangunan baik secara infrastruktur maupun suprastruktur (misalnya : sumber daya alam), dimana daerah utara relatif lebih maju dibanding daerah selatan. Persoalan ini ternyata juga yang dialami oleh berbagai daerah pemekaran yang ada di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.
Tak dapat dipungkiri, beberapa faktor tersebut cukup dominan untuk mendorong terjadinya pemekaran. Namun, lebih jauh penting untuk mengkritisi siapa sebenarnya yang berkepentingan dalam pemekaran ini. Setidaknya ada beberapa analisis yang relevan untuk dikemukakan, yaitu : pertama, konsekuensi logis dari otonomi daerah adalah terjadinya desentralisasi kekuasaan. Distribusi kekuasaan ini tentu saja akan membentuk elit-elit baru di ranah lokal karena tidak meratanya pendistribusian tersebut. Elit lokal tersebut adalah elit cultural, elit ekonomi (pengusaha lokal), dan elit politik. Elit kultural adalah elit yang terbentuk di masyarakat yang memiliki konstruksi budaya yang masih kental. Elit ini biasanya berada di posisi puncak pimpinan dari struktur kekuasaan budaya masyarakat tersebut. Misal, Ninik Mamak di kalangan masyarakat Minangkabau, jawara di banten, pucuk pimpinan beberapa kerajaan yang masih terpelihara baik di beberapa daerah. Berikutnya adalah elit ekonomi, elit ini terbentuk karena kuatnya basis modal yang dimilikinya. Pengusaha – pengusaha lokal yang ada seakan berduyun-duyun masuk dalam arena politik praktis, pertimbangannya tentu saja kepentingan bisnis. Sedangkan elit politik yang dimaksud disini adalah elit yang memiliki kekuasaan struktural di lembaga-lembaga politik formal, misalnya : partai politik, parlemen, dan sejenisnya. Di ranah lokal, posisi elit ini sangat dominan mempengaruhi masyarakat, karena mereka memiliki berbagai basis legitimasi yang memungkinkan untuk mengendalikan masyarakat.
Kedua, persengkokolan elit pusat dan elit lokal. Melacak perjuangan di beberapa daerah, ternyata hampir didominasi oleh kelompok elit, mulai dari baik elit kultural, pengusaha lokal, sampai dengan pimpinan parpol. Ini menjadi wajar sebenarnya karena mereka memang punya kekuatan basis untuk itu. Pertanyaan kritisnya adalah apakah mereka representasi dari kepentingan masyarakat yang diperjuangkannya. Jawabannya tentu saja bisa ya dan bisa tidak. Beberapa karakter elit yang memperjuangkan pemekaran adalah karena mereka memiliki relasi dengan elit-elit yang ada di pemerintahan pusat, terutama di DPR RI. Disinilah persengkokolan elit pusat dan elit lokal di mulai. Persengkokolan itu tidak saja bukan persengkongkolan yang kosong karena ada target-target politik dan ekonomi di daerah yang akan melakukan pemekaran nanti. Persengkokolan ini menjadi terbukti ketika pada perebutan kursi kepala daerah, elit pusat tersebut juga terlibat dalam penyuksesan sanga elit lokal untuk menjadi kepala daerah. Bahkan, justru elit pusat tersebut yang langsung mencalonkan menjadi kepala daerah.
Ketiga, kontestasi antar elit lokal. Hal yang biasa pasca pemekaran adalah naiknya suhu politik lokal. Hal ini tentu saja berhubungan dengan konstelasi kekuasaan menuju kursi kepala daerah. Perebutan kursi kepala daerah ini biasa didominasi oleh elit-elit lokal yang selama ini memperjuangkan pemekaran. Mereka adalah elit kultural (pimpinan adat, kiai, dan sebagainya), elit ekonomi (pengusaha lokal), dan tentu saja elit politik sendiri (pimpinan parpol, misalnya). Kondisi psikologis yang dialami oleh elit – elit lokal tersebut adalah perasaan kepahlawanan. Mereka merasa menjadi pahlawan dan paling berjasa dalam proses perjuangan pemekaran tersebut.
Keempat, konflik pusat pemerintahan. Di beberapa kasus daerah pemekaran, tarik ulur tentang lokasi pusat pemerintahan sering ramai terjadi. Hal ini tentu saja didorong oleh alasan pemekaran tadi, bahwa lokasi pusat pemerintahan dimaknai oleh masyarakat sebagai kunci sentral pembangunan daerah. Namun, apabila dilacak lebih jauh, maka sebenarnya persoalan ini tidak bisa dilepaskan dari setting-an politik ekonomi beberapa elit lokal selama ini getol mendorong terjadinya pemekaran. Bagi para elit lokal tersebut, keberadaan pusat pemerintahan akan berpengaruh kuat pada pembangunan pusat ekonomi, perdagangan terutama.
CSO dan Gerakan Pemuda
Mengaca pada pemaparan diatas, maka tidak picik sebenarnya untuk menyimpulkan bahwa pemekaran sangat kental dengan kepentingan para elit lokal. Oleh karena itu, beberapa catatan kritis berikut ini penting disimak, yaitu : pertama, Civil Society Organization (CSO) harus bisa menjadi lokomatif penjagaan makna demokrasi dalam hal ini. Menengok citra kurang positif CSO, maka CSO harus bisa menunjukkan keberpihakannya pada kepentingan masyarakat, tidak mudah untuk disetir oleh kepentingan para elit lokal tersebut. CSO tentu saja memiliki peran penting dalam mendorong pengelolaan daerah yang Clean and Good Governance. Kedua, gerakan pemuda lokal. Gerakan para pemuda tentu saja sangat signifikan bagi sebuah daerah pemekaran. Perannya penting untuk membangkitkan kesadaran politik anak-anak muda yang ada di daerah tersebut. Berbagai godaan materi dan kekuasaan kadang juga menjadi problem yang serius bagi gerakan pemuda ini, belum lagi hubungan kekeluargaan, kultural, dan sebagainya, dengan para elit tersebut.
Dua elemen ini memiliki signifikansi dalam pengelolaan daerah yang bersih dan baik (Clean and Good Governance) bagi daerah yang baru mekar. Walau bagaimana pun masa transisi bagi daerah pemekaran adalah masa- masa yang cukup sulit. CSO dan Gerakan Pemuda diharapkan akan menjadi elemen yang akan menjaga proses transisi bagi daerah pemekaran tersebut. Awal pemekaran adalah masa-masa yang sangat menentukan bagi arah pembangunan daerah tersebut karena disanalah dibangun mentalitas, system, dan tentu saja stakeholder yang memiliki kredabilitas, integritas, dan kapasitas.

PARADOKS DEMOKRASI DAN PEMILU 2009

Oleh : Romi Siska Putra, M.Si

Genderang pemilu 2009 telah diperdengarkan ke seluruh negeri. Sebuah pertanda pesta demokrasi itu sudah dimulai. KPU pun telah menggulirkan tahapan kampanye bagi parpol peserta pemilu sejak 12 Juli 2008 yang lalu. Pemilu 2009 ini akan menjadi pertaruhan bagi partai politik (parpol) yang baru, yang lama maupun yang baru tapi muka lama (daur ulang), apakah dipercaya atau ditinggalkan para pemilih. Jumlah parpol yang disyahkan oleh KPU ternyata tidak sesuai dengan harapan. Apabila dibandingkan dengan pemilu 2004 yang lalu, maka jumlah parpol mengalami perubahan yang signifikan dari awalnya 24 menjadi 34. Dari dulu kita berharap pendulum system kepartaian kita kian mengkerucut menuju titik keseimbangan, system dua partai (two party system). Namun, kita ternyata harus gigit jari dengan kondisi ini. Apalagi system multi partai ini dipasangkan dengan system presidensial. Sebuah pasangan yang tidak ideal. Pasangan ini membuat kita berhenti untuk berharap stabilitas politik akan dapat diwujudkan. Justru yang muncul adalah kompromi dan pertengkaran politik pada politisi.
Banyaknya parpol ini akan berimplikasi luas pada para calon pemilih nanti. Setidaknya ada beberapa implikasi yang muncul, yaitu : pertama, pemilih mengalami kebingungan. Masyarakat dipaksa untuk menjatuhkan satu pilihan dari 34 parpol peserta pemilu yang ada. Kebingungan sosial dalam konteks ini akan membuka peluang terjadinya golput karena masyarakat bingung harus memilih parpol yang mana. Kedua, semakin memperburuk kualitas pilihan masyarakat. Banyaknya parpol yang berkampanye dengan berbagai janji-janji politik membuat pemilih sulit untuk mengingat partai mana yang lebih menjanjikan. Akhirnya, masyarakat memilih parpol yang popoluer dalam ingatannya, bukan pada substansi dari janji-janji politik yang ditawarkan berbagai parpol. Kondisi ini diperburuk oleh parpol yang justru memanfaatkan celah dari pemilih ini. Sah – sah saja sebenarnya, namun sayang buruknya kualitas demokrasi menjadi korban. Padahal parpol seharusnya menjadi pilar dari tegaknya (kualitas) demokrasi ini. ketiga, semakin buruknya citra parpol dipandangan pemilih. Semakin banyaknya parpol, bagi masyarakat awam justru dimaknai sebagai fenomena perebutan kekuasaan ansich oleh para politisi. Sungguh tragis, padahal dalam konteks demokrasi modern ini, parpol memiliki peran yang sangat signifkan.

Paradoks Demokrasi dan Pemilu 2009
Kasus korupsi yang menimpa para politisi belakangan ini sungguh mengecewakan. Seakan tak berhenti, deretan nama anggota legislatif kasus korupsi mulai terkuak. Mulai dari kader yang partai nasionalis sampai dengan partai berbasis agama sekalipun. Ibarat sebuah musim, sepertinya lagi masuk musim panen KPK untuk menangkap para koruptor (senayan). Fenomena ini tentu saja berimplikasi luas pada turunnya kepercayaan publik (public trust) pada lembaga perwakilan rakyat tersebut. Turunnya kepercayaan publik pada lembaga ini secara konkrit akan dibuktikan dengan meningkatnya angka golput nantinya. Indikasi itu mulai kelihatan dengan fenomena golput pada beberapa Pilkada di daerah-daerah berpenduduk besar Pilkada berikut ini : DKI (39,2%), Jawa Tengah (40%), Jawa Barat (32,6%), Sumatera Utara (41%). Bahkan Prof. Hafidz Anshory selaku ketua KPU juga memprediksikan akan meningkatnya angka golput pada Pemilu 2009 nanti. Alangkah tidak arifnya, jika tingginya angka golput ini hanya dinilai karena faktor – faktor teknis seperti, kurangnya sosialisasi, kurangnya persiapan KPUD, dan hal yang berbau teknis lainnya; akan tetapi bisa jadi inilah bentuk baru dari kesadaran politik masyarakat. Pada konteks lain, kondisi ini bertolak belakang dengan semakin besarnya jumlah parpol peserta pemilu 2009 nanti, belum lagi parpol yang tidak lolos verifikasi.
Kondisi yang serba paradoks iniah yang kemudian disebut oleh Anthony Giddens sebagai paradoks demokrasi. Paradoks demokrasi adalah sebuah kondisi dimana lembaga-lembaga demokrasi tersingkir pada titik dimana (perkembangan) demokrasi justru semakin marak (di Indonesia). Sungguh tragis, bukan?.
Alangkah tidak bertanggungjawabnya jika ini terus kita biarkan. Apabila dibiarkan, maka kita akan berada pada sebuah kondisi yang saya sebut dengan “negara tanpa rakyat”. Walaupun lembaga – lembaga demokrasi, baik legislatif, eksekutif, dan yudikatif tetap eksis, namun sebenarnya mereka berdiri tanpa substansi dari demokrasi itu sendiri, yaitu rakyat. Oleh karena itu, setidaknya ada beberapa catatan penting yang harus dilakukan, yaitu :
pertama, reformasi partai politik menjadi sebuah keniscayaan. Walaupun Parpol himbauan reformasi parpol kian marak, namun faktanya tidak merubah keadaan parpol. Alih-alih makin baik, ternyata kondisinya justru semakin parah, kader-kader “terbaik” parpol justru terjungkal karena kasus korupsi. Oleh karena itu, parpol jangan lagi bertele-tele lagi dalam proses rekrutmen anggotanya. Bertele-tele dengan maraknya money politics dalam proses pencalonan anggota legislatif, yang nantinya akan berimbas pada buruknya kinerja mereka di parlemen nanti. Bahkan, melakukan tindakan merugikan negara, seperti korupsi.
Kedua, penting untuk merumuskan pola untuk memperbaiki relasi elit dan massa (konstituen) yang ada selama ini. Relasi elit dan massa yang tercipta selama ini, adalah relasi yang disebut oleh Ralf Dahrendorf, seorang elit theorist, relasi ordinat dan sub-ordinat. Relasi ini adalah relasi yang merugikan salah satu pihak. Pada konteks ini, yang selalu dirugikan adalah masyarakat. Oleh karena itu, perlu sebuah mekanisme dimana rakyat diberikan ruang yang seluas-luasnya untuk menggugat mandat yang ia berikan pada salah satu calon ketika dianggap tidak lagi memperjuangkan kepentingan mereka. Dalam hal ini, parpol memiliki peran penting, sejauhmana parpol mau terbuka terhadap tuntutan masyarakat yang diwakili kadernya. Misal, proses pergantian antar waktu (PAW). Ketika masyarakat menilai kadernya memiliki kinerja buruk maka partai harus berani melakukan tindakan tegas.
Ketiga, pendidikan politik bagi rakyat. Semakin pesatnya perkembangan informasi dan teknologi menyebabkan akses tentang profil partai politik (baik ideology, platform gerakan, pengurus, kebijakan, dan sebagainya) bisa diketahui lewat berbagai media massa, baik elektronik maupun cetak. Dalam hal ini, informasi yang menyeluruh tentang parpol sebaiknya dilakukan oleh lembaga-lembaga yang independensinya bisa dipercaya dan terbukti di hadapan publik, bukan lembaga pesanan dan sejenisnya. Misal : kampanye anti politisi busuk. Model pendidikan politik ini cukup efektif untuk memberikan informasi kepada masyarakat tentang mana saja politisi yang tidak pantas untuk dipilih ketika Pemilu. Apalagi para politisi sekarang sudah mulai canggih “menjual” dirinya dengan berbagai iklan. Oleh karena itu, masyarakat harus dididik untuk melihat bagaiman track record, kredibilitas, dan integritas dari sang calon. Sehingga informasi yang komprehensif menjadi penting untuk dilakukan oleh berbagai lembaga independent apa pun.
Akhirnya, pemilu 2009 nanti akan menjadi pertaruhan masa depan negeri ini. Kita tetap berharap, pasca pemilu nanti tidak terjadi lagi pertengkaran politik para politisi, perilaku buruk para politisi, dan semacamnya. Semoga ini menjadi catatan evaluasi bagi para politisi. Bravo pemilu 2009….bravo perubahan…