Jumat, 29 Agustus 2008

Sesat pikir menyikapi kemajemukan berbangsa

Sesat pikir menyikapi kemajemukan berbangsa
Oleh : Romi Siska Putra
[1]

Indonesia tidak hanya sekedar sebuah Negara yang berdaulat dan diakui eksistensinya oleh dunia Indonesia, tetapi Indonesia adalah sebagai sebuah. Sehingga kemudian Indonesia dikenal sebagai nation-state.
Pada konteks nation-state yang bernama Indonesia ini, umur bangsa Indonesia memiliki rentang sejarah yang cukup jauh dengan lahirnya Negara Indonesia, bangsa Indonesia sudah ada sejak zaman kerajaan, sebutlah misalnya kerajaan Sriwijaya di sumatera selatan, kerajaan Majapahit di jawa, ataupun beberapa kerajaan yang ada di Indonesia bagian timur. Sejarah kerajaan-kerajaan inilah yang kemudian merekonstruski dan menjadi pilar lahirnya bangsa Indonesia yang memiliki karakter budaya yang beragam tetapi terintegrasi menjadi sebuah bangsa yang satu.
Perlu diketahui kerajaan itu sudah ada sejak periode awal abad masehi, sebutlah misalnya kerajaan sriwijaya di pulau Sumatera, kerajaan Majapahit di Jawa. Sriwijaya bahkan menjadi kerajaan yang mencakup wilayah kekuasaan yang luas mencapai beberapa Negara asia tenggara seperti Malaysia, Kamboja, dan yang lainnya. Begitu juga dengan kerajaan Majapahit yang semakin meneguhkan kejayaan nusantara yang akhirnya bernama Indonesia.
Signifikansi perbedaan umur sejarah yang sangat jauh ini menjadikan kita gagal dalam mengambil sikap untuk mengintegrasikan segala kemajemukan yang terintegrasi dalam bangsa Indonesia sehingga menjadi kekuatan bagi Indonesia untuk menjadi bangsa yang besar dan disegani oleh bangsa dan Negara yang lain. Bahkan terkadang para elit-elit bangsa dan Negara kita salah dalam menyikapi kondisi ini semua (kemajemukan agama, suku, ras, ataupun budaya). Kemajemukan kita akhirnya melahirkan sekat-sekat wilayah yang kemudian menjauhkan interaksi antar sesama bangsa Indonesia baik Indonesia bagian barat, tengah, ataupun timur. Semangat kebangsaan adalah semangat yang akhirnya melahirkan hegemoni budaya yang satu terhadap yang lainnya ataupun bisa jadi determinasi yang kemudian secara perlahan-lahan mereduksi nilai-nilai budaya daerah yang lain. Begitu pula dengan persoalan nasionalisme yang harapannya menjadi ruh yang kemudian menyatukan sebagai bangsa yang satu, namun kemudian yang terjadi adalah nasionalisme yang akhirnya hanya “mematikan” budaya daerah-daerah yang ada di nusantara ini karena hegemoni yang lain. Nasionalisme yang merupakan semangat kebangsaan untuk menyatukan kemajemukan bangsa mulai dari agama, ras, suku, ataupun budaya yang ada, akhirnya tidak dapat dipungkiri melahirkan upaya-upaya yang kemudian mereduksi nilai-nilai nasionalisme itu sendiri. Disintegrasi bangsa yang mengancam saat ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari implikasi kebijakan pemerintah atau sesat pikir yang kemudian menyebabkan lahirnya ke-tidakarif-an dalam menyikapi kemajemukan yang ada di masyarakat Indonesia yang terbentang dari sabang sampai merauke.
Realitas yang terjadi diatas adalah bagian dari implikasi dari era sentralisasi yang dijalankan selama orde baru, yang kemudian menjadi bukti nyata kalau kemajemukan itu hanya menjadi symbol atau jargon belaka, kemajemukan yang ada disikapi dengan penyeragaman budaya atau nasionalisme adalah identik dengan penyeragaman, sehingga kearifan local yang seharusnya menjadi langkah strategis untuk menyikapi kemajemukan yang ada jauh dari harapan. Kearifan local adalah langkah yang pas untuk menjaga kelestarian dan kebertahanan segala potensi budaya yang ada. Namun sekali lagi, yang dilakukan oleh pemerintah misalnya adalah penyeragaman-penyeragaman. Kita ambil contoh yang sederhana tentang persoalan penyeragaman makanan pokok seperti jagung, gandum, sagu, dan nasi yang kemudian disamakan menjadikan nasi sebagai bahan pokok, yang kemudian melahirkan kebijakan swasembada pangan (:beras) oleh pemerintah. Pada awalnya persoalan ini tidak memberikan implikasi yang cukup serius, namun akhirnya menjadi bumerang tersendiri bagi pemerintah, sebutlah misalnya ketika pemerintah mengalami kekurangan stok beras dan harus mengimpor dari luar negeri atau Negara tetangga misalnya, yang menyebabkan harga beras naik cukup tinggi sehingga memberatkan bagi masyarakat kecil yang memiliki daya beli yang rendah. Akhirnya fakta memperlihatkan terjadinya busung lapar di beberapa daerah adalah implikasi dari kebijakan pemerintah dan sesat pikir terhadap kemajemukan yang ada. Yahokimo adalah merupakan salah satu contoh kotemporer yang membuktikan sesat pikir terhadap penyikapan kemajemukan yang ada, Yahokimo merupakan daerah terpencil di provinsi Papua yang pada awalnya menjadikan umbi-umbian sebagai makanan pokok kemudian harus gigit jari ketika sebagian masyarakatnya mengalami busung lapar ketika penyeragaman makanan pokok menjadi nasi yang sudah cukup lama sejak orde baru yang dilakukan pemerintah. Di beberapa daerah Nusa Tenggara Barat (NTB) juga mengalami hal yang sama ketika busung lapar melanda sebagian masyarakat tersebut, dan menurut penulis banyak fakta-fakta yang bisa saja terjadi namun tidak terekspose oleh media massa atau memang sengaja ditutupi oleh pemerintah sehingga seakan-akan tidak terjadi persoalan apa-apa pada konteks ini.
Bhineka Tunggal Ika dimaknai bahwa perbedaan atau kemajemukan yang ada tidak kemudian membuat kita terhalang-halangi untuk bersatu, artinya ada semangat persatuan dan kesatuan sebagai bangsa yang satu yaitu Indonesia. Namun persoalannya, Bhineka Tunggal Ika hanya berhenti pada batas sebagai jargon dan symbol kesatuan bangsa saja, namun realitasnya tetap saja jauh dari harapan. Konflik yang terjadi di tingkat local merupakan indikasi yang jelas karena kesalah pahaman kita dalam menyikapi perbedaan atau kemajemukan berbangsa selama ini. Papua adalah bagian dari Indonesia tapi bukan kemudian ia harus disamakan dengan masyarakat jawa misalnya, masyarakat ambon pun tidak sama dengan masyarakat sunda. Semua daerah memiliki kekhasan tersendiri yang tentunya merupakan satu kebanggaan pada kita sebagai bangsa yang besar dengan segala kemajemukannya. Culture masing-masing daerah harus disikapi dengan kearifan local yang berangkat dari semangat nasionalisme yang benar, bukan nasionalisme yang sebenarnya adalah bentuk hegemoni pemerintah -yang merepresentasikan salah satu budaya- terhadap daerah yang lainnya di Indonesia.
Era desentralisasi sebenarnya adalah i’tikad yang baik dari elit bangsa yang lahir dari rahim reformasi yang juga menandai kembalinya proses demokratisasi di Indonesia untuk menyikapi segala kemajemukan yang dimiliki oleh bangsa ini. Desentralisasi dianggap sebagai system pemerintahan yang diharapkan bisa melahirkan kearifan local terhadap kemajemukan yang ada. Karena desentralisasi memang mengharuskan dan menuntut ruang-ruang yang besar bagi daerah untuk mengatur daerahnya masing-masing tanpa intervensi yang berlebihan dari pemerintah pusat. Desentralisasi itu kemudian diwujudkan dengan format otonomi daerah yang merupakan salah satu dari tuntutan visi reformasi. –yang dipelopori oleh gerakan mahasiswa-. Otonomi daerah harapannya menjadikan setiap daerah bisa lebih eksis baik pada konteks pemerintahan dan terutama pada konteks eksistensi dari budaya-budaya yang menjadi salah satu bagian penting dari kemajemukan yang kita miliki.
Otonomi daerah ternyata pun tidak memberikan cerita yang indah seperti yang diharapkan. Setidaknya kasus konflik yang melibatkan antar suku yang kemudian berujung pada sentiment agama yang berada di beberapa daerah di Indonesia timur misalnya menjadi hal yang tidak bisa dipungkiri. Konflik karena persaingan dalam pemilihan kepala daerah yang lahir karena perebutan kekuasaan atau tampuk kepemimpinan daerah terjadi di beberapa kabupaten di Kalimantan dan Sulawesi adalah berangkat dari fanatisme kesukuan atau keagamaan yang berlebihan. Dan lagi-lagi ini adalah kegagalan kita untuk bersikap dewasa dalam perbedaan atau kemajemukan yang ada atau bisa jadi ini juga bagian dari ujian untuk kesekian kalinya terhadap kemajemukan yang dimiliki bangsa ini.
Realitas diatas adalah bagian-bagian dari ujian kedewasaan kita untuk menyikapi kemajemukan yang ada di nusantara ini. Karena seharusnya kemajemukan itu menjadi kekuatan yang positif bagi kemajuan bangsa ini, namun yang terjadi adalah kemajemukan itu melahirkan hal-hal yang kemudian menghalangi negeri ini untuk menjadi negeri yang besar, memiliki kehormatan dan jati diri bangsa yang merdeka.
Kearifan local terhadap keunikan dari potensi-potensi yang dimiliki daerah baik itu suku, agama, ras, ataupun budaya adalah langkah yang strategis untuk menjadikan kemajemukan itu menjadi kekuatan yang positif bagi bangsa ini

[1] Mahasiswa Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, juga sedang menjabat Sekjend KAMMI DIY periode 2004-2006

Tidak ada komentar: