(refleksi seorang aktivis)[1]
Reformasi..., para analis politik sepakat bahwa ini adalah babak baru dalam perjalanan demokrasi di Indonesia. Kotak pandora kembali terbuka dari ketabuan yang dibungkam oleh orde baru selama 32 tahun dengan gaya otoritarian yang sempurna tanpa cacat. Gerakan mahasiswa dan gerakan pro-demokrasi lainnya patut gembira dengan turun ke prabon-nya Soeharto dari kepemimpinan nasional. Dalam perspektif elit, Soeharto telah menjadi titik sentral dari pertarungan lingkaran-lingkaran elit yang berada di bawahnya, posisi sentral Soeharto adalah kunci dari arah dan bentuk kebijakan-kebijakan politik selama orde baru.
Model kepemimpinan dengan mitos jawa yang digunakannya menjadikan Soeharto sangat patut untuk dikagumi sebagai orang yang mampu mempertahankan kekuasaannya dalam periode yang cukup lama. Kekuasaan yang sulit ditembus oleh elit politik yang berada di luar lingkaran elit Soeharto waktu itu, sehingga wajar kemudian Soeharto bisa bertahan selama 32 tahun. Ini semua hanyalah sejarah, memang, tapi hati-hati dengan sejarah karena dia bisa jadi akan berulang. Sejarah adalah ruang bagi kita untuk melakukan ”Muhasabah gerakan”, dan kata orang kesadaran sejarah kita sangat rendah di banding bangsa lain, kita sangat gampang untuk melupakan, dan kadang memaafkan kesalahan dan kejahatan sejarah, itu dibuktikan oleh SBY dengan SP3 yang ”dipersembahkan” kepada Soeharto sebagai orang yang pernah menjadi patron beliau dan berjasa terhadap perjalanan karir politiknya.
Memahami Desentralisasi
Diskusi tentang desentralisasi senantiasa mengikuti logika perubahan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya secara legal-formal. Tidak mengherankan jika selama Orba, setidak-tidaknya sejak tahun 1974, wacana perbincangan sepenuhnya didominasi oleh pembicaraan di sekitar UU Nomor 5 tahun 1974. Lebih dari itu, pijakan diskusi tentang politik dalam aras lokal dan otonomi daerah ini lebih bertumpu pada negara yang menempatkan politik lokal lebih sebagai implikasi dari pengaturan politik nasional ketimbang sebagai sesuatu entitas yang independen yang secara politik inheren dalam negara modern[2].
Dalam tinjauan teoritik maupun yang telah ditetapkan secara konstitusional, desentralisasi dimaknai pada beberapa hal, diantaranya adalah : desentralisasi fiscal dan desentralisasi fungsional. Desentralisasi fiscal diterjemahkan sebagai otoritas yang diberikan kepada daerah untuk mengelola subsidi yang diberikan melalui Dana Alokasi Umum (DAU)[3], pada sisi lain adalah untuk mengelola sumber daya potensial yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Sedangkan desentralisasi fungsional adalah otoritas yang diberikan kepada daerah untuk mengelola sistem pemerintahan yang ada di daerah tersebut. Namun, yang paling penting bagi gerakan civil society dalam konteks desentralisasi ini adalah melihat pada sudut kekuasaan, dimana desentralisasi adalah pilihan politik yang dilakukan oleh negara untuk mendistribusikan kekuasaan yang berada di pusat selama ini kepada daerah-daerah.
Bisa dibayangkan, sistem yang telah dibangun oleh orde baru selama 32 tahun di republik ini, sistem yang hampir menyentuh pada level pemerintahan paling rendah sekalipun. Kalau kita lihat lagi dengan perspektif elit, maka yang terjadi saat ini adalah konsolidasi elit yang telah dipelihara oleh Soeharto selama puluhan tahun, maka wajar kemudian watak kepemimpinan dan birokrasi yang ada disetiap daerah adalah watak-watak orde baru. Kondisi ini menjadi catatan penting bagi gerakan civil society.
Involusi gerakan mahasiswa dan desentralisasi
Konon katanya negara yang demokratis akan mematikan gerakan mahasiswa, ini benar kalau melihat dari perspektif gerakan mahasiswa sebagai pressure group dan check and balance. Menurut saya, keberadaan mahasiswa sebagai gerakan tetap saja ada, dan ini persoalan pilihan ranah gerakan saja. Menarik hasil yang dikeluarkan oleh Kompas beberapa bulan yang lalu, hasilnya mengejutkan bagi publik dan sangat menohok bagi gerakan mahasiswa. Hasil riset itu sampai pada kesimpulan bahwa signifikansi peran gerakan mahasiswa jauh dari harapan dan khittohnya-untuk tidak mengatakan matinya gerakan mahasiswa. Kalau mengacu pada hipotesis tadi, kita bisa saja secara gamblang menyimpulkan ”negara kita sudah demokratis, dong!!.”, benarkah?kompas bisa jadi benar, kata parameter yang digunakan adalah signifikansi peran gerakan mahasiswa pada tataran issu nasional. Tapi, bukankah kondisi pada tataran issu lokal juga mengalami hal yang demikian?
Mari kita alihkan perhatian kita sebentar pada konstelasi politik lokal, siapa tahu ada yang menarik, dan siapa tahu gerakan mahasiswa kembali menemukan ”jati dirinya”. Setidaknya ada beberapa catatan penting untuk memahami struktur politik pada aras lokal, mulai dari birokrasi, elit, civil society, kekuatan pemodal, pemerintahan lokal, dan sebagainya.
1. Birokrasi patrimonial, mengkaji dan memahami birokrasi kita maka kita tidak bisa melepaskan dari kondisi sosiologis masyarakat kita yang bersifat patron-klien dan feodal. Birokrasi kita sangat kental dengan budaya patrimonial, dimana logika yang digunakan adalah logika kedekatan emosional sehingga sangat memungkinkan terjadinya birokrasi yang berpihak kepada kepentingan golongan dan perlu dimaklumi kalau kemudian persoalan KKN menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan dari birokrasi kita.
2. Kebohongan Good Governance, pada tataran konseptual Good Governance memang menuntut sinergisitas antara negara, swasta, dan masyarakat. Cuman, realitasnya yang terjadi di daerah-daerah adalah eksploitasi masyarakat yang dilakukan oleh negara yang “berselingkuh” dengan swasta. Banyak peraturan daerah (perda) yang tidak memihak pada kepentingan masyarakat.
3. Produksi Elit Orde Baru, pseudo-democracy (demokrasi semu) yang dialami oleh Indonesia saat ini diiringi dengan reproduksi elit yang tiada henti. Apalagi memasuki era desentralisasi, elit semakin menemukan momentum dan ruang untuk melakukan reproduksinya untuk melahirkan generasi-generasi elit yang akan semakin menguatkan struktur jaringan mereka. Ketika kondisi ini tetap stabil maka kejomplangan kekuasaan akan semakin kentara, karena kekuasaan terlokalisir pada kelompok kecil saja yang bernama elit.
4. Kapitalisme-sasi Pemerintahan Lokal, globalisasi menjadi biangnya memang, tapi jangan pernah menyalahkan globalisasi karena ia merupakan keniscayaan, kata yang pro-globalisasi. Terlepas dari perdebatan tentang globalisasi, yang pasti globalisasi telah menjadikan kekuatan pemodal besar berkecimpung dalam kompetisi pasar lokal, yang akhirnya meluluh-lantakkan ekonomi mikro rakyat lokal. Mall-isasi yang marak sekarang adalah bentuk dari pemerintah lokal yang berwatak kapitalistik, dimana peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dijadikan sebagai parameter untuk mengukur pertumbuhan ekonomi, sehingga dibangunlah mall-mall yang bisa memberikan besaran pajak bagi PAD, tanpa memikirkan di sudut-sudut daerah tersebut pasar-pasar tradisional sebagai simbol ekonomi mikro masyarakat lokal mengalami gonjang-gonjang bahkan hilang dari dunia ”per-pasar-an”
5. ide welfare state, terlalu muluk memang kita bicara welfare state (negara kesejahteraan) di Indonesia, bahkan bisa dibilang mimpi di siang bolong atau gila sekalipun. Tetapi yang penting adalah jangan pernah berhenti berharap, karena bisa jadi itu ”harta” satu-satunya yang masih dimiliki oleh bangsa ini. Tetapi, anda bisa juga keliru dengan asumsi itu, mari kita sejenak itu mendengar cerita dari salah satu kabupaten kecil di Provinsi Bali sana, yaitu Jembrana. Sebagai penegasan ini bukanlah cerita dari negeri dongeng, tapi sebuah fakta yang telah terjadi di salah satu daerah kecil di Bali.
Jembrana, awalnya tidak dikenal di bali, orang lebih paham akan pantai kuta, tanah lor, dan tempat pariwisata lainnya yang ada di Bali. Akan tetapi setelah memasuki otonomi daerah, Jembrana seakan ”naik daun” dan terkenal. Apa yang menarik di Jembrana?. Kalau mendengar sekolah gratis di kabupaten Kutai Kertanegara, itu wajar karena daerahnya adalah kabupaten dengan PAD terbesar di Indonesia. Bagaimana dengan Jembrana? Jembrana adalah kabupaten dengan PAD pada tahun 2001 hanya sebesar Rp. 4,7 milyar termasuk kecil dibanding daerah yang lain, fenomena yang sangat kontras dengan kabupaten tetangganya di Bali, yaitu Badung, yang PAD-nya saja sampai Rp. 400-an milyar, dengan digabungkan dengan DAU saja Jembrana belum bisa melewati capaian PAD Badung. Dengan kondisi sumber daya yang dimiliki, pemerintahan Jembrana justru bisa menggratiskan SPP sekolah negeri dan beasiswa bagi yang di sekolah swasta melalui Surat Keputusan Bupati I Gede Winasa, yang awal tahun 2006 di-perda-kan. Tidak itu saja, pemda Jembrana juga mengeluarkan pelayanan kesehatan gratis pada level Penyelenggara Pelayanan kesehatan pada tingkat I dengan pelayanan rawat jalan dan rawat jalan lanjutan dan ketentuan lainnya. Dan beberapa kebijakan gratis yang diberikan oleh pemda untuk masyarakatnya.
Sekali lagi ini bukan berarti dongeng. Dari riset yang telah dilakukan oleh Penulis dan kawan-kawan lakukan di Bali. Ide dari semua kebijakan itu berangkat dari semangat welfare state. Jembrana dipimpin oleh seorang Profesor yang bernama I Gede Winasa, semua kebijakan diatas adalah inisiasi dari sang Bupati berdasarkan keluhan-keluhan dan persoalan-persoalan yang dialami oleh masyarakatnya. I Gede Winasa seakan membuktikan dirinya seorang ”Intelektual Profetik” kepada pemimpin di negeri ini. Yang menjadi catatan adalah persoalan Good will dari pemimpin kita dan diperkuat dengan kepemimpinannya dalam mereformasi birokrasi yang bisa mendukung kebijakan yang ia keluarkan nantinya. Bahkan pemerintah daerah pun bisa memiliki bargaining position dengan pihak pemodal (swasta) yang menjadi momok pemda selama ini. Jembrana yang miskin tetapi memiliki pemimpin yang memiliki Good will yang besar terhadap persoalan rakyat, didukung dengan kekuatan birokrasi, akhirnya bisa memberikan kepada kita bahwa dengan kondisi yang serba kekurangan dalam potensi lokal tidak menghalanginya mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang populis bagi masyarakatnya.
6. hati-hati dengan Pilkadal, seringkali pemilu menjadi parameter untuk melihat demokratisnya sebuah negara maupun daerah. Bagi saya, demokrasi bukan hanya persoalan prosedur tetapi bagaimana kemudian sistem yang ada bisa memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Pilkadal yang hampir sudah terlaksana di kab/kota Indonesia, bahkan DIY semuanya sudah dapat jatah. Kebobrokan sistem pemilu, kacaunya organisasi yang bernama partai politik, dan moralitas para elit yang berkuasa, realitas inilah yang menjadi sistem tempat bergulirnya pilkadal. So, berhati-hatilah dengan pilkadal, karena tidak menjamin semuanya akan lebih baik atau justru pilkadal hanya untuk memperkuat status Quo dan terjadinya reproduksi elit yang tiada henti.
7. Perkuat gerakan Civil society, dalam kajian teori politik, banyak teori atau perspektif yang digunakan untuk melihat civil society (sebagai asosiasi, sebagai nilai, maupun gerakan sosial). Mulai dari John Lock sampai dengan Cak Nur, mereka memiliki perspektif tersendiri tentang itu. Akan tetapi simpul wacana dari berbagai perspektif tersebut adalah Kebangkitan gagasan dan praktek penguatan Civil society adalah ekspresi perlawanan terhadap dominasi negara dan pasar dalam kehidupan publik[4]. Gerakan mahasiswa bersama organisasi civil society lainnya (LSM, Gerakan Islam, dan lain sebagainya) harus melakukan konsolidasi gerakan.
Beberapa point diatas adalah issu yang marak dibicarakan belakangan ini, dan sebagai gerakan mahasiswa tentunya memiliki perspektif sendiri untuk mentafsirkan itu semua dan melakukan reposisi, biar ngga dikira gerakan ”ketinggalan zaman”.
Reposisi harus segera dilakukan oleh gerakan mahasiswa biar tidak terjebak pada issu-issu nasional yang terkadang adalah building opinion yang dibentuk oleh media saja, tetapi bukan kemudian kita menafikan issu-issu nasional, misal issu kepemimpinan nasional, kebijakan nasional, dan sebagainya. Tetapi posisi ditingkat lokal juga harus ”dipikirkan”, bukankah di tataran lokal kita bisa menemukan persoalan yang riil dari masyarakat yang dirugikan oleh ketidakberpihakan pemerintah daerah. Sebagai contoh riil adalah bagaimana dengan nasib PKL dulu yang ada sepanjang selokan mataram, bukankah pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan relokasi, tapi bagaimana kenyataannya? Dari data salah seorang teman, kebijakannya sampai saat ini masih menjadi persoalan karena para PKL dihadapkan pada biaya sewa kios yang terlalu mahal bagi mereka. Belum lagi persoalan rancangan perda-perda yang digodok dan akan disyahkan, siapa yang memperjuangkan itu semua jika tidak berpihak kepada masyarakat, memang masih ada gerakan sosial yang lain, tetapi ini adalah celah bagi gerakan mahasiswa setidaknya untuk menemukan kembali jati dirinya sebagai ”pejuang rakyat”, ngitung-ngitung membantah riset yang dilakukan oleh kompas.
Oleh karena itu, gerakan mahasiswa termasuk KAMMI di dalamnya harus segera keluar dari ruang ”involusi” itu, memasuki dunia nyata yang bernama ”desentralisasi”, bergerak, dan berbuat untuk umat.
Wallahu a’lam bishowab
[1] Aktivis itu bernama Akhuna Romi Siska Putra, Alumni Mahasiswa S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah (PLOD) UGM, Sekjend KAMMI DIY Periode 2004-2006. ku tulis ketika detik-detik kepengurusan itu akan segera berakhir di suatu malam yang sunyi dusun krikilan, Monjali.
[2] Cornelis Lay, pada salah satu makalah pengantar diskusi di S2 PLOD UGM
[3] DAU adalah semacam “jatah” yang diberikan pada masing-masing daerah, yang salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya adalah faktor fiscal need dari setiap daerah.
[4] AAGN Ari Dwipayana, dalam salah satu tulisan pengantar diskusi S2 PLOD UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar