Jumat, 29 Agustus 2008

PARADOKS DEMOKRASI DAN PEMILU 2009

Oleh : Romi Siska Putra, M.Si

Genderang pemilu 2009 telah diperdengarkan ke seluruh negeri. Sebuah pertanda pesta demokrasi itu sudah dimulai. KPU pun telah menggulirkan tahapan kampanye bagi parpol peserta pemilu sejak 12 Juli 2008 yang lalu. Pemilu 2009 ini akan menjadi pertaruhan bagi partai politik (parpol) yang baru, yang lama maupun yang baru tapi muka lama (daur ulang), apakah dipercaya atau ditinggalkan para pemilih. Jumlah parpol yang disyahkan oleh KPU ternyata tidak sesuai dengan harapan. Apabila dibandingkan dengan pemilu 2004 yang lalu, maka jumlah parpol mengalami perubahan yang signifikan dari awalnya 24 menjadi 34. Dari dulu kita berharap pendulum system kepartaian kita kian mengkerucut menuju titik keseimbangan, system dua partai (two party system). Namun, kita ternyata harus gigit jari dengan kondisi ini. Apalagi system multi partai ini dipasangkan dengan system presidensial. Sebuah pasangan yang tidak ideal. Pasangan ini membuat kita berhenti untuk berharap stabilitas politik akan dapat diwujudkan. Justru yang muncul adalah kompromi dan pertengkaran politik pada politisi.
Banyaknya parpol ini akan berimplikasi luas pada para calon pemilih nanti. Setidaknya ada beberapa implikasi yang muncul, yaitu : pertama, pemilih mengalami kebingungan. Masyarakat dipaksa untuk menjatuhkan satu pilihan dari 34 parpol peserta pemilu yang ada. Kebingungan sosial dalam konteks ini akan membuka peluang terjadinya golput karena masyarakat bingung harus memilih parpol yang mana. Kedua, semakin memperburuk kualitas pilihan masyarakat. Banyaknya parpol yang berkampanye dengan berbagai janji-janji politik membuat pemilih sulit untuk mengingat partai mana yang lebih menjanjikan. Akhirnya, masyarakat memilih parpol yang popoluer dalam ingatannya, bukan pada substansi dari janji-janji politik yang ditawarkan berbagai parpol. Kondisi ini diperburuk oleh parpol yang justru memanfaatkan celah dari pemilih ini. Sah – sah saja sebenarnya, namun sayang buruknya kualitas demokrasi menjadi korban. Padahal parpol seharusnya menjadi pilar dari tegaknya (kualitas) demokrasi ini. ketiga, semakin buruknya citra parpol dipandangan pemilih. Semakin banyaknya parpol, bagi masyarakat awam justru dimaknai sebagai fenomena perebutan kekuasaan ansich oleh para politisi. Sungguh tragis, padahal dalam konteks demokrasi modern ini, parpol memiliki peran yang sangat signifkan.

Paradoks Demokrasi dan Pemilu 2009
Kasus korupsi yang menimpa para politisi belakangan ini sungguh mengecewakan. Seakan tak berhenti, deretan nama anggota legislatif kasus korupsi mulai terkuak. Mulai dari kader yang partai nasionalis sampai dengan partai berbasis agama sekalipun. Ibarat sebuah musim, sepertinya lagi masuk musim panen KPK untuk menangkap para koruptor (senayan). Fenomena ini tentu saja berimplikasi luas pada turunnya kepercayaan publik (public trust) pada lembaga perwakilan rakyat tersebut. Turunnya kepercayaan publik pada lembaga ini secara konkrit akan dibuktikan dengan meningkatnya angka golput nantinya. Indikasi itu mulai kelihatan dengan fenomena golput pada beberapa Pilkada di daerah-daerah berpenduduk besar Pilkada berikut ini : DKI (39,2%), Jawa Tengah (40%), Jawa Barat (32,6%), Sumatera Utara (41%). Bahkan Prof. Hafidz Anshory selaku ketua KPU juga memprediksikan akan meningkatnya angka golput pada Pemilu 2009 nanti. Alangkah tidak arifnya, jika tingginya angka golput ini hanya dinilai karena faktor – faktor teknis seperti, kurangnya sosialisasi, kurangnya persiapan KPUD, dan hal yang berbau teknis lainnya; akan tetapi bisa jadi inilah bentuk baru dari kesadaran politik masyarakat. Pada konteks lain, kondisi ini bertolak belakang dengan semakin besarnya jumlah parpol peserta pemilu 2009 nanti, belum lagi parpol yang tidak lolos verifikasi.
Kondisi yang serba paradoks iniah yang kemudian disebut oleh Anthony Giddens sebagai paradoks demokrasi. Paradoks demokrasi adalah sebuah kondisi dimana lembaga-lembaga demokrasi tersingkir pada titik dimana (perkembangan) demokrasi justru semakin marak (di Indonesia). Sungguh tragis, bukan?.
Alangkah tidak bertanggungjawabnya jika ini terus kita biarkan. Apabila dibiarkan, maka kita akan berada pada sebuah kondisi yang saya sebut dengan “negara tanpa rakyat”. Walaupun lembaga – lembaga demokrasi, baik legislatif, eksekutif, dan yudikatif tetap eksis, namun sebenarnya mereka berdiri tanpa substansi dari demokrasi itu sendiri, yaitu rakyat. Oleh karena itu, setidaknya ada beberapa catatan penting yang harus dilakukan, yaitu :
pertama, reformasi partai politik menjadi sebuah keniscayaan. Walaupun Parpol himbauan reformasi parpol kian marak, namun faktanya tidak merubah keadaan parpol. Alih-alih makin baik, ternyata kondisinya justru semakin parah, kader-kader “terbaik” parpol justru terjungkal karena kasus korupsi. Oleh karena itu, parpol jangan lagi bertele-tele lagi dalam proses rekrutmen anggotanya. Bertele-tele dengan maraknya money politics dalam proses pencalonan anggota legislatif, yang nantinya akan berimbas pada buruknya kinerja mereka di parlemen nanti. Bahkan, melakukan tindakan merugikan negara, seperti korupsi.
Kedua, penting untuk merumuskan pola untuk memperbaiki relasi elit dan massa (konstituen) yang ada selama ini. Relasi elit dan massa yang tercipta selama ini, adalah relasi yang disebut oleh Ralf Dahrendorf, seorang elit theorist, relasi ordinat dan sub-ordinat. Relasi ini adalah relasi yang merugikan salah satu pihak. Pada konteks ini, yang selalu dirugikan adalah masyarakat. Oleh karena itu, perlu sebuah mekanisme dimana rakyat diberikan ruang yang seluas-luasnya untuk menggugat mandat yang ia berikan pada salah satu calon ketika dianggap tidak lagi memperjuangkan kepentingan mereka. Dalam hal ini, parpol memiliki peran penting, sejauhmana parpol mau terbuka terhadap tuntutan masyarakat yang diwakili kadernya. Misal, proses pergantian antar waktu (PAW). Ketika masyarakat menilai kadernya memiliki kinerja buruk maka partai harus berani melakukan tindakan tegas.
Ketiga, pendidikan politik bagi rakyat. Semakin pesatnya perkembangan informasi dan teknologi menyebabkan akses tentang profil partai politik (baik ideology, platform gerakan, pengurus, kebijakan, dan sebagainya) bisa diketahui lewat berbagai media massa, baik elektronik maupun cetak. Dalam hal ini, informasi yang menyeluruh tentang parpol sebaiknya dilakukan oleh lembaga-lembaga yang independensinya bisa dipercaya dan terbukti di hadapan publik, bukan lembaga pesanan dan sejenisnya. Misal : kampanye anti politisi busuk. Model pendidikan politik ini cukup efektif untuk memberikan informasi kepada masyarakat tentang mana saja politisi yang tidak pantas untuk dipilih ketika Pemilu. Apalagi para politisi sekarang sudah mulai canggih “menjual” dirinya dengan berbagai iklan. Oleh karena itu, masyarakat harus dididik untuk melihat bagaiman track record, kredibilitas, dan integritas dari sang calon. Sehingga informasi yang komprehensif menjadi penting untuk dilakukan oleh berbagai lembaga independent apa pun.
Akhirnya, pemilu 2009 nanti akan menjadi pertaruhan masa depan negeri ini. Kita tetap berharap, pasca pemilu nanti tidak terjadi lagi pertengkaran politik para politisi, perilaku buruk para politisi, dan semacamnya. Semoga ini menjadi catatan evaluasi bagi para politisi. Bravo pemilu 2009….bravo perubahan…

Tidak ada komentar: