Oleh : Romi Siska Putra, M.Si
Selasa (24/6) yang lalu, pada sidang paripurna DPR yang dihadiri oleh Pemerintah, disyahkan sebanyak 12 Rancangan Undang Undang (RUU) tentang berdirinya daerah otonom (pemekaran). Jumlah ini akan menambah jumlah kabupaten/kota menjadi 438. Walaupun presiden SBY pernah mengatakan akan menyetop sementara untuk daerah yang ingin melakukan pemekaran. Fenomena ini sebenarnya adalah efek dari otonomi daerah itu sendiri, yaitu terbukanya luasnya kran liberalisasi politik di berbagai daerah. Efeknya adalah meningkatnya partisipasi publik masyarakat, sedangkan pada sisi lain pemerintah pusat seakan dibuat tidak memiliki alasan untuk menolak aspirasi masyarakat berbagai daerah, seperti desakan pemekaran tadi. Konsekuensi logis dari banyaknya daerah yang melakukan pemekaran tentu saja berimplikasi luas pada beban APBN. Pemerintah pusat mau tidak mau harus menambah subsidi kepada daerah, baik dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), maupun dalam bentuk yang lainnya. Ini tentu saja sebuah resiko yang harus ditanggung oleh Pemerintah karena tetap mengijinkan daerah melakukan pemekaran.
Perspektif lain yang penting untuk dikritisi lebih jauh adalah melacak kepentingan pemekaran. Pakar Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM, Cornelis Lay, menjelaskan dalam hasil studinya di berbagai daerah bahwa latar belakang pemekaran dipengaruhi oleh berbagai hal, yaitu : pertama, latar belakang kesamaan sosial - budaya. Kesamaan dan kedekatan secara sosial – budaya kadang menjadi alasan masyarakat sebuah daerah untuk melepaskan diri dan berdiri menjadi daerah yang independen (otonom) dari kabupaten/kota induknya. Kedua, latar belakang ekonomi. Keberadaan sumber daya alam yang ada di sebuah wilayah juga tidak bisa dilepaskan dari faktor yang mendorong dan mendesak dilakukannya pemekaran dari kabupaten/kota maupun induknya. Ketiga, latar belakang ketimpangan pembangunan. Dari berbagai kasus pemekaran, timpangnya pembangunan antara daerah yang secara geografis lebih dekat dengan pusat pemerintahan juga menjadi faktor desakan pemekaran tersebut. Misalnya : kasus pemekaran Kabupaten Dharmasraya di Sumatera Barat. Daerah yang menjadi kabupaten baru ini terletak di bagian selatan, dan jauh dari pusat pemerintahan yang berada di utara. Salah satu faktor yang mempengaruhi desakan pemekaran adalah, ketimpangan pembangunan baik secara infrastruktur maupun suprastruktur (misalnya : sumber daya alam), dimana daerah utara relatif lebih maju dibanding daerah selatan. Persoalan ini ternyata juga yang dialami oleh berbagai daerah pemekaran yang ada di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.
Tak dapat dipungkiri, beberapa faktor tersebut cukup dominan untuk mendorong terjadinya pemekaran. Namun, lebih jauh penting untuk mengkritisi siapa sebenarnya yang berkepentingan dalam pemekaran ini. Setidaknya ada beberapa analisis yang relevan untuk dikemukakan, yaitu : pertama, konsekuensi logis dari otonomi daerah adalah terjadinya desentralisasi kekuasaan. Distribusi kekuasaan ini tentu saja akan membentuk elit-elit baru di ranah lokal karena tidak meratanya pendistribusian tersebut. Elit lokal tersebut adalah elit cultural, elit ekonomi (pengusaha lokal), dan elit politik. Elit kultural adalah elit yang terbentuk di masyarakat yang memiliki konstruksi budaya yang masih kental. Elit ini biasanya berada di posisi puncak pimpinan dari struktur kekuasaan budaya masyarakat tersebut. Misal, Ninik Mamak di kalangan masyarakat Minangkabau, jawara di banten, pucuk pimpinan beberapa kerajaan yang masih terpelihara baik di beberapa daerah. Berikutnya adalah elit ekonomi, elit ini terbentuk karena kuatnya basis modal yang dimilikinya. Pengusaha – pengusaha lokal yang ada seakan berduyun-duyun masuk dalam arena politik praktis, pertimbangannya tentu saja kepentingan bisnis. Sedangkan elit politik yang dimaksud disini adalah elit yang memiliki kekuasaan struktural di lembaga-lembaga politik formal, misalnya : partai politik, parlemen, dan sejenisnya. Di ranah lokal, posisi elit ini sangat dominan mempengaruhi masyarakat, karena mereka memiliki berbagai basis legitimasi yang memungkinkan untuk mengendalikan masyarakat.
Kedua, persengkokolan elit pusat dan elit lokal. Melacak perjuangan di beberapa daerah, ternyata hampir didominasi oleh kelompok elit, mulai dari baik elit kultural, pengusaha lokal, sampai dengan pimpinan parpol. Ini menjadi wajar sebenarnya karena mereka memang punya kekuatan basis untuk itu. Pertanyaan kritisnya adalah apakah mereka representasi dari kepentingan masyarakat yang diperjuangkannya. Jawabannya tentu saja bisa ya dan bisa tidak. Beberapa karakter elit yang memperjuangkan pemekaran adalah karena mereka memiliki relasi dengan elit-elit yang ada di pemerintahan pusat, terutama di DPR RI. Disinilah persengkokolan elit pusat dan elit lokal di mulai. Persengkokolan itu tidak saja bukan persengkongkolan yang kosong karena ada target-target politik dan ekonomi di daerah yang akan melakukan pemekaran nanti. Persengkokolan ini menjadi terbukti ketika pada perebutan kursi kepala daerah, elit pusat tersebut juga terlibat dalam penyuksesan sanga elit lokal untuk menjadi kepala daerah. Bahkan, justru elit pusat tersebut yang langsung mencalonkan menjadi kepala daerah.
Ketiga, kontestasi antar elit lokal. Hal yang biasa pasca pemekaran adalah naiknya suhu politik lokal. Hal ini tentu saja berhubungan dengan konstelasi kekuasaan menuju kursi kepala daerah. Perebutan kursi kepala daerah ini biasa didominasi oleh elit-elit lokal yang selama ini memperjuangkan pemekaran. Mereka adalah elit kultural (pimpinan adat, kiai, dan sebagainya), elit ekonomi (pengusaha lokal), dan tentu saja elit politik sendiri (pimpinan parpol, misalnya). Kondisi psikologis yang dialami oleh elit – elit lokal tersebut adalah perasaan kepahlawanan. Mereka merasa menjadi pahlawan dan paling berjasa dalam proses perjuangan pemekaran tersebut.
Keempat, konflik pusat pemerintahan. Di beberapa kasus daerah pemekaran, tarik ulur tentang lokasi pusat pemerintahan sering ramai terjadi. Hal ini tentu saja didorong oleh alasan pemekaran tadi, bahwa lokasi pusat pemerintahan dimaknai oleh masyarakat sebagai kunci sentral pembangunan daerah. Namun, apabila dilacak lebih jauh, maka sebenarnya persoalan ini tidak bisa dilepaskan dari setting-an politik ekonomi beberapa elit lokal selama ini getol mendorong terjadinya pemekaran. Bagi para elit lokal tersebut, keberadaan pusat pemerintahan akan berpengaruh kuat pada pembangunan pusat ekonomi, perdagangan terutama.
CSO dan Gerakan Pemuda
Mengaca pada pemaparan diatas, maka tidak picik sebenarnya untuk menyimpulkan bahwa pemekaran sangat kental dengan kepentingan para elit lokal. Oleh karena itu, beberapa catatan kritis berikut ini penting disimak, yaitu : pertama, Civil Society Organization (CSO) harus bisa menjadi lokomatif penjagaan makna demokrasi dalam hal ini. Menengok citra kurang positif CSO, maka CSO harus bisa menunjukkan keberpihakannya pada kepentingan masyarakat, tidak mudah untuk disetir oleh kepentingan para elit lokal tersebut. CSO tentu saja memiliki peran penting dalam mendorong pengelolaan daerah yang Clean and Good Governance. Kedua, gerakan pemuda lokal. Gerakan para pemuda tentu saja sangat signifikan bagi sebuah daerah pemekaran. Perannya penting untuk membangkitkan kesadaran politik anak-anak muda yang ada di daerah tersebut. Berbagai godaan materi dan kekuasaan kadang juga menjadi problem yang serius bagi gerakan pemuda ini, belum lagi hubungan kekeluargaan, kultural, dan sebagainya, dengan para elit tersebut.
Dua elemen ini memiliki signifikansi dalam pengelolaan daerah yang bersih dan baik (Clean and Good Governance) bagi daerah yang baru mekar. Walau bagaimana pun masa transisi bagi daerah pemekaran adalah masa- masa yang cukup sulit. CSO dan Gerakan Pemuda diharapkan akan menjadi elemen yang akan menjaga proses transisi bagi daerah pemekaran tersebut. Awal pemekaran adalah masa-masa yang sangat menentukan bagi arah pembangunan daerah tersebut karena disanalah dibangun mentalitas, system, dan tentu saja stakeholder yang memiliki kredabilitas, integritas, dan kapasitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar