Reformasi yang merupakan klimaks dari berkuasanya orde baru sebagai rezim totaliter, memberikan implikasi yang sangat besar untuk terbukanya kembali tabir-tabir demokrasi yang sudah lama disimpan dan membusuk di “gudang” kekuasaan orde baru. Demokrasi menjadi sebuah barang yang sangat mahal pada waktu itu, bahkan boleh dikatakan tidak ada demokrasi. Demokrasi pada waktu itu hanya sekedar symbol dan jargon, demokrasi yang tidak lebih hanya sekedar prosedural, dan parahnya lagi semua itu di-setting- untuk kepentingan dan legitimasi penguasa untuk tetap berada pada puncak kekuasaannya. Sekarang, tabir itu sudah terbuka lebar yang kemudian memberikan ruang-ruang kebebasan bagi rakyat dari segala sektor. Kebebasan untuk mengekspresikan kesadaran kritis mereka yang sudah lama dibungkam dan mendapat tindakan represif dari rezim pada saat itu.
Demokrasi yang ada saat ini tidak lagi seperti zaman orde baru yang hanya menjadi sekedar wacana yang menjadi bahan diskusi bagi kalangan akademis, aktivis gerakan mahasiswa, maupun elemen gerakan lain yang peduli akan demokratisasi di Indonesia. Diskursus yang terlokalisir pada ruangan-ruangan yang harus dijamin “aman” dari jangkauan dan spionase penguasa waktu itu. Namun, sekarang adalah bagaimana kemudian demokrasi yang hanya menjadi wacana menjadi praksis demokrasi. Beberapa pemikir-pemikir politik memaknai demokrasi tidak akan efektif dan lestari tanpa adanya substansi demokrasi tidak hanya dari sisi prosedural, berupa; jiwa, kultur atau ideologi demokratis yang mewarnai pengorganisasian internal partai politik, lembaga-lembaga pemerintahan, serta perkumpulan-perkumpulan kemasyarakatan. Habermas misalnya merumuskan masyarakat demokratis sebagai masyarakat yang memiliki otonomi dan kedewasaan (Mundigkeit). Otonomi kolektif semacam itu berhubungan dengan pencapaian konsensus bebas dominasi. Habermas mengandaikan bahwa konsensus itu bisa dicapai dalam sebuah masyarakat yang komunikatif. Dalam masyarakat komunikatif dimungkinkan anggotanya membentuk suatu opini publik melalui diskusi-diskusi publik diantara mereka yang akhirnya ikut menentukan kekuasaan. Diskusi semacam ini hanya mungkin dilakukan di dalam suatu wilayah sosial yang bebas dominasi. Wilayah ini disebut public sphere. Adanya ruang publik memungkinkan anggota masyarakat berpartisipasi untuk menentukkan jalannya kekuasaan di dalam suatu komunitas.
Dilema demokrasi dan birokrasi
Berbicara persoalan demokrasi sebetulnya kita tidak bisa melepaskan dari peran-peran Negara, dan Negara juga tidak bisa dilepaskan dari birokrasi. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana relevansi antara demokrasi dan birokrasi. Apakah keduanya memiliki hubungan timbal balik atau salah satunya yang memberikan pengaruh terhadap yang lain. Tiga thesis Etzioni-Halevy menguraikan secara argumentatif hubungan antara demokrasi dan birokrasi, pertama, birokrasi adalah dilema bagi demokrasi, birokrasi yang kuat dan mandiri diperlukan utk mencegah political corruption; namun birokrasi yang kuat dapat menjadi ancaman bagi demokrasi karena birokrasi mampu lepas dari kontrol politik dan akuntabilitas demokrasi. Kedua, demokrasi memberi dilema bagi birokrasi, tata demokrasi mengharuskan birokrasi untuk non-politis sekaligus politis pada saat yang bersamaan. Birokrasi diharapkan menjadi subjek tanggung jawab politisi dan pada saat yang sama bertanggung jawab untuk tindakan yang dilakukannya sendiri. Ketiga, ambiguitas peran birokrasi bisa memunculkan friksi politik. Karena peran birokrasi yg tak didefinisikan secara jelas, birokrat senior kerap memasuki kawasan yang remang-remang: tak jelas domain birokrasi atau domain politik. Akibatnya terjadi reaksi balik dari politisi senior yang merasa wilayah kewenangannya diintervensi.
Menarik untuk membicarakan demokrasi dan birokrasi pada masa pasca runtuhnya orde baru. proses demokratisasi pasca jatuhnya orde baru ditandai dengan berubahnya system pemerintahan yang sentralistik menjadi desentralistik. Sistem pemerintahan yang sentralistik menjadi system yang melahirkan trauma bagi masyarakat pro-demokrasi, karena sentralistik selama ini sejarah membuktikan menjadi legitimasi dan kepentingan penguasa yang berada di pemerintahan pusat. Oleh karena itu, sangat beralasan jika kemudian masyarakat menuntut untuk digulirkannya desentralisasi. desentralisasi yang kemudian diwujudkan dengan konsep otonomi daerah, yang diharapkan memberikan ruang-ruang yang lebih besar kepada daerah untuk mengatur daerahnya masing-masing. Setidaknya desentralisasi ini dapat dilakukan pada dua hal yaitu desentralisasi fungsional yang diikuti dengan desentralisasi fiscal. Desentralisasi fungsional adalah wewenang yang diberikan kepada daerah terhadap desentralisasi fiscal yang diberikan oleh pusat dalam bentuk subsidi sehingga daerah memiliki otoritas untuk menggunakan subsidi untuk pembangunan daerahnya masing-masing.
Konsekuensi dari otonomi daerah adalah semakin besarnya ruang-ruang demokratisasi, yang salah satunya diwujudkan dengan pemberian otoritas kepada daerah untuk menentukan siapa pemimpin mereka di setiap masing-masing daerah. Mekanisme itu kemudian disepakati dalam bentuk Pemilihan kepala daerah (pilkadal). Pilkadal ini pun sudah berjalan di seluruh daerah Indonesia mulai dari tingkat provinsi maupun kota/kabupaten di seluruh Indonesia. Demokratisasi pada tingkat lokal semakin meningkat tidak dapat dipungkiri menjadi bagian dari sisi positif desentralisasi karena memang masyarakat sudah semakin dekat dengan kekuasaan. Sehingga beberapa fakta membuktikan pada pilkadal di Indonesia tingkat partisipasi politik masyarakat semakin baik artinya masyarakat sudah cukup cerdas untuk menyampaikan aspirasinya.
Antusiasme dari masyarakat terutama elit-elit politik di tingkat lokal pada konteks pilkadal bisa jadi bagian dari “ketergiuran” akan desentralisasi fiscal yang diberikan oleh pusat, karena menurut pandangan mereka bahwa masyarakat masih dalam tahap proses belajar berdemokrasi sehingga control yang dilakukan agak longgar. Asumsi inilah yang kemudian menyebabkan berpindahnya basis terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dari pusat ke daerah, yang akhirnya dikenal istilah lahirnya “bos-bos kecil” di tingkat lokal, ini pula hal yang tidak bisa dipungkiri menjadi sisi negative dari otonomi daerah. Sehingga wajar kemudian pilkadal menggambarkan benturan banyak kepentingan (the clash of interest), akhirnya memberikan peluang-peluang konflik yang mungkin juga melahirkan tindakan anarkhisme.
Politisasi birokrasi
Ideal type Birokrasi Weberian mengatakan bahwa birokrasi bersifat profesional, hierarkis, hubungannya bersifat impersonal dan rasional sehingga Weber secara tidak langsung mengatakan bahwa birokrasi harus bersifat netral. Namun, pada konteks birokrasi Indonesia tidak seideal yang dikatakan oleh Weber. Birokrasi Indonesia adalah birokrasi yang tidak bisa dilepaskan dari kultur feodal masyarakatnya, sehingga birokrasi Indonesia itu lebih bersifat patrimonial (patron-client), dimana hubungan yang ada adalah bersifat emosional akhirnya menafikan netralitas dari birokrasi.
Istilah politisasi birokrasi berhubungan dengan persoalan diluar birokrasi itu sendiri, artinya relevan dengan pembicaraan diawal tadi bahwa demokrasi menjadi dilema bagi birokrasi. Akhirnya pada konteks politik, seperti pilkadal, birokrasi menjadi sebuah hal yang harus tunduk kepada kepentingan penguasa untuk kepentingannya. Karena sifat dari birokrasi yang hierarkis menyebabkan ia harus patuh kepada struktur yang berada diatasnya (penguasa). Pada pilkadal, persoalan politisasi birokrasi menjadi persoalan yang sering kita temui. Birokrasi menjadi alat politik bagi calon incumbent (calon yang sebelumnya sudah menjabat sebagai kepala daerah) untuk mempertahankan kekuasaannya. Persoalan yang terkadang muncul adalah menilai apakah birokrasi itu dipolitisir untuk kepentingan salah satu bakal calon misalnya, terkadang juga menjadi hal yang agak sulit memang. Mulai dari gaya-gaya politisasi birokrasi yang cukup “cantik” sampai kepada yang agak “vulgar” biasanya bisa kita temui. Kita ambil contoh misalnya salah satu pilkadal yang terjadi di kabupaten Siak, salah satu kabupaten di provinsi Riau. Mutasi pegawai dalam hal ini adalah Camat dilakukan oleh calon incumbent, pemutasian itu dilakukan terhadap beberapa camat yang pro kepada calon incumbent dan memindahkan pada posisi-posisi yang strategis untuk menjaring massa bagi sang calon. Bentuk politisasi birokrasi yang agak sedikit “cantik” biasanya dilakukan adalah dengan memperbanyak agenda-agenda populis diakhir-akhir masa jabatan, terkadang juga dengan sengaja mengundurkan waktu pelaksanaan program yang langsung bersentuhan dengan basis massa (grass root) pada waktu-waktu menjelang pilkadal.
Dilema demokrasi bagi birokrasi yaitu terjadinya politisasi, akhirnya menjadikan birokrasi sebagai posisi yang selalu dilemahkan. Apakah misalnya perlu kita melontarkan gagasan untuk membiarkan birokrasi untuk berpolitik? sebagai jawaban atas politisasi itu. Tapi bagaimana kemudian dengan peran-peran birokrasi sebagai tulang punggung Negara untuk melayani masyarakat. Sehingga menurut hemat penulis, birokrasi tetap saja pada peran-perannya yang seharusnya dan bersifat netral. Untuk mereduksi politisasi itu harapannya masyarakatlah yang bisa melakukan fungsi-fungsi control terhadap itu semua, sehingga netralitas birokrasi tetap bisa dipertahankan
Realitas yang dipaparkan diatas menjadi fenomena politik yang terjadi di banyak daerah. Sehingga birokrasi seakan-akan tidak bisa berbuat apa-apa. Nafsu untuk berkuasa terkadang membuat orang bisa melakukan apa saja, dan kelihatannya madzhab politik Machiavelli –yang menafikan persoalan cara dalam meraih tujuan politik- lagi menjadi trend para politisi kita saat ini baik pada tingkat lokal maupun di tingkat nasional.
Pilkadal “bersih”
Pilkadal bersih adalah menjadi harapan kita semua, namun persoalannya adalah benturan kepentingan (the clash of interest) menjadikan harapan itu semakin terpinggirkan. Oleh karena itu, realitas politik yang tidak bisa dilepaskan dari kecurangan politik dengan berbagai macam ragamnya, untuk konteks politisasi birokrasi yang harus dilakukan adalah adanya kontrol internal dan eksternal, dari eksternal dapat diperankan oleh masyarakat (civil society), sedangkan untuk internal birokrasi harus memberikan ruang-ruang untuk bagi birokrasi sendiri untuk dikontrol, misalnya dengan membentuk semacam lembaga independen yang berasal dari personal birokrasi, tapi sekali lagi bahwa birokrasi harus bersedia untuk dikontrol.
Korelasi antara demokrasi, birokrasi, dan pilkadal semakin jelas kita temukan relevansinya pada tingkat lokal. Demokrasi memberikan ruang-ruang kebebasan untuk berekspresi, tapi tidak kemudian kebebasan itu melanggar apa yang menjadi hak orang lain. Pilkadal adalah wujud dari proses demokratisasi yang ada di tingkat lokal, pilkadal yang harus dibangun adalah mendidik masyarakat untuk berdemokrasi yang baik, tetapi berbeda jika kemudian pilkadal dihiasi dengan kecurangan-kecurangan dengan menghalalkan segala cara maka ruang-ruang terjadinya the clash interest yang berujung pada konflik bisa saja terjadi. Politisasi birokrasi dalam pilkadal merupakan hal yang mencoreng arti hakikat demokrasi, karena menjadikan birokrasi kehilangan haknya untuk bekerja sesuai dengan mekanisme yang telah ditetapkan untuk melakukan pelayanan kepada public secara professional, netral, dan rasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar