
Berikut ini tidak ada salahnya saya ingin menyampaikan beberapa garis besar tentang gagasan-gagasan mereka tentang masa depan bangsa ini, yaitu :
Prof.

Mas Eko (mungkin panggilan ini yang tepat untuk beliau, maklum masih sangat muda untuk seorang Profesor), mengelobarasi dari berbagai aspek, setidaknya ada beberapa hal, yaitu Kepemimpinan nasional, ketata negaraan, system politik, birokrasi dan penegakan hukum.
Pertama, konsep kepemimpinan yang beliau maksud menarik untuk disimak. Untuk memulainya, beliau berangkat dari konsep sebuah perubahan. Bagi beliau ada dua hal yang harus dikemukakan dalam hal ini, yaitu change dan reform. Change dan reform adalah persoalan yang berbeda, change adalah pola perubahan yang dibentuk sebagai reaksi terhadap lingkungan atau realitas yang ada bahkan sangat tergantung padanya, akan tetapi reform adalah proses rekayasa terhadap lingkungan terhadap realitas yang ada dan tidak semata bersifat reaksioner, justru didalamnya ada agenda setting perubahan yang terarah. Kepemimpinan yang dibangun diatas sebuah agenda setting yang jelas dan terarah. Beliau mencontohkan bahwa keberhasilan China dan India yang mulai tampil sebagai raksasa ekonomi dunia karena dibangun diatas kepemimpinan yang reform.
Kedua, reformasi system politik. Bagi Mas Eko, ketidakjelasan system politik yang dibangun menjadikan negara ini sulit akan menemukan bentuk idealnya seperti apa. Beliau menyebutkan, bagaimana penyederhanaan partai politik hanya menjadi omong kosong belaka. Bahkan besaran Parliement Threshold dan Electoral Threshold sebagai pintu masuk untuk penyederhaan jumlah parpol, ternyata penuh dengan kompromi para elit politik yang ada di parlemen dan parpol. Pada sisi lain, Mas Eko mengkhawatirkan kondisi parpol saat ini, yang dianggap tidak memiliki identitas (tanpa ideology dan kaderisasi yang kuat).
Ketiga, birokrasi. Birokrasi selama orde baru, menurut Mas Eko dianggap menjadi salah satu alasan sulitnya birokrasi bisa diperbaiki dalam waktu yang realtif singkat. Masa 20 tahun birokrasi dibawah orde baru, dijadikan sebagai alat politik bagi rezim. Sehingga menurut Mas Eko, butuh waktu yang lebih lama dari itu untuk menjadikan birokrasi ini sebagai penopang kinerja pemerintah yang berkuasa. Saat ini, birokrasi masih menjadi bagian dari kepentingan parpol yang berkuasa. Kondisi seperti ini, tentu saja sangat sulit bagi birokrasi ini menjadi pilar negara untuk melakukan fungsi-fungsi sebagai pelayan publik. Namun, Mas Eko, tetap optimis untuk memperbaiki birokrasi yang sudah ada selama ini. catatan pentingnya adalah strategisnya posisi sang pucuk pimpinan. Dalam konteks otonomi daerah, beliau mencontohkan keberhasilan beberapa daerah menjadikan birokrasi sebagai pelayan publik dengan baik. Salah satu kuncinya adalah kuatnya karakter kepemimpinan lokal yang dibangun. Beliau menyebutkan Pak Untung (Kepala Daerah Kabupaten Sragen), Fadel Muhammad di Provinsi Gorontalo, I Gede Winarsa di Kabupaten Jembrana), dan lain sebagainya.
Keempat, penegakan hukum. Mas Eko sangat menggaris bawahi bagaimana terjadinya korupsi yang beliau sebut dengan political corruption. Political corruption adalah korupsi yang dilakukan dalam konteks proses politik, dimana regulasi yang dihasilkan memang di-setting untuk kepentingan beberapa kelompok orang (kekuatan politik tertentu). Kondisi ini sangat membahayakan apabila dibiarkan terus menerus. Oleh karena itu, penegakan hukum menjadi sangat penting untuk dilakukan. Namun, ternyata bagi Mas Eko, adalagi yang membahayakan yaitu ketika yang melakukan korupsi justru para penegak hukum sendiri. Baginya, walaupun politik kacau dan ekonomi amburadul, akan tetapi selama penegak hukum masih baik, maka akan tetap lebih baik dibanding lahirnya para mafia peradilan.
Dari paparan yang cukup panjang ini, maka setidaknya ada beberapa hal tawaran gagasan dari Mas Eko, yaitu : de-kooptasi birokrasi dari parpol, restrukturisasi kelembagaan pemerintahan, profesionalisasi dan modernisasi birokrasi, perubahan relasi pemerintah dan masyarakat, dan terakhir perlunya revitalisasi demokrasi.
Setelah

Salah seorang petinggi hukum di Kejaksaan Agung mengatakan pada beliau “kasus Urip ini merusak citra Kejaksaan Agung, ibarat pepatah nila setitik rusak susu sebelanga”. Kemudian bang Denny menimpali, oh bukan begitu pepatah yang tepat sebenarnya, justru pepatahnya adalah nila sebelanga merusak susu setitik. (ha..ha..para peserta diskusi tertawa riuh memekakkan telinga).
Beliau melanjutkan bahwa ia meyakini betul bahwa adanya mafia peradilan di lembaga penegak hukum republic ini. Oleh karena itu, KPK harus serius menangani kasus mafia peradilan ini. kemudian, menyikapi pemberantasan hukum yang seakan-akan tebang pilih, misalnya tidak terjangkaunya orang-orang terdekat SBY oleh jeratan hukum. Bang Denny, mengutip cerita ketika salah seorang sahabat memohon kepada Rasulullah untuk mengampuni salah seorang sahabat lain yang melakukan korupsi. Waktu itu Rasulullah menjawab “seandainya Fathimah binti Muhammad yang melakukan korupsi maka aku langsung yang akan memotong tangannya”. Dari shiroh ini, Bang Denny ingin mengatakan bahwa penegakan hukum seharusnya adil bagi siapapun.
Saat ini, menurut survey tahun 2006 dari Tranparency International Indonesia (TII), hakim menampati posisi kedua sebagai lembaga terkorup setelah parlemen. Pada sisi lain, menurut Deny, aktor-aktor utama dalam kasus korupsi besar seperti BLBI, aliran dana BI harus juga ditangkap. “Makanya, saya menjadi staf khusus presiden bidang hukum”, timpalnya. Oleh karena itu, saya harus cari strategi untuk membisikkan Presiden, yang disambut riuh oleh peserta diskusi. Dan beliau siap untuk “memaksa” Presiden untuk menangkap para biang keladinya korupsi tersebut. (Semoga saja…)
Sedan
