1. Pendahuluan
Pasca reformasi menjadi fase yang bersejarah perjalanan bangsa ini, fase yang membuka ruang-ruang demokrasi dapat dinikmati kembali oleh sebagian besar bangsa ini setelah selama 32 tahun orde baru, demokrasi berada dalam kerangkeng tirani. Sentralisasi yang menjadi watak orde baru semakin menyempitkan rakyat untuk berpartisipasi secara bebas dan mendapatkan haknya, sehingga wajar kemudian masyarakat menyambut gembira ketika secara konstitusional dilegalkannya desentralisasi melalui otonomi daerah dalam Undang-undang (UU) Pemerintahan Daerah No. 32 2004. Otonomi daerah dimaknai sebagai semakin besarnya ruang-ruang demokrasi di daerah-daerah seluruh Indonesia, daerah diberikan otoritas yang besar untuk mengelola daerahnya, baik pemerintahan maupun potensi lokal yang ada di masing-masing daerah sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Diskusi tentang politik desentralisasi dan pemerintahan daerah menempati posisi yang strategis dalam khasanah ilmu politik maupun politik praktis. Pertama, sejarah menunjukkan bahwa politik lokal – yang salah satu pengaturannya dilakukan melalui politik desentralisasi -- merupakan energi politik utama dalam pengaturan masyarakat sebelum hadirnya negara modern. Kedua, pembicaraan tentang politik desentralisasi dan otonomi daerah semakin signifikan dalam perkembangan politik kontemporer global. Hal ini ditunjukkan dengan data komparasi pada level global yang mengindikasikan semakin krusialnya posisi politik lokal dalam berbagai konflik politik sebuah negara; dan dalam menjelaskan kebangkrutan banyak negara dalam mempertahankan integrasinya. Ketiga, pengalaman empirik Indonesia dalam setengah abad terakhir mengkonfirmasikan krusialitas dan konsistensi permasalahan politik lokal dalam menentukan arah dan dinamika politik nasional Indonesia[1].
Alasan dianutnya desentralisasi mengutip pendapat The Liang Gie dimotori beberapa alasan;
- Desentralisasi dapat mencegah penumpukan kekuasaan pada pemerintahan pusat yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani;
- desentralisasi dapat dianggap sebagai tindakan pendemokrasian, yaitu untuk menarik rakyat ikut sert dalam pemerintahan dan melatih diri dalam menggunakan hak-hak demokrasi;
- desentralisasi perlu diadakan supaya perhatian dapat sepenuhnya ditumpahkan kepada kekhususan derah, keadaan geografus, penduduk, kegiatan ekonomi, watak budayadan latar belakang sejarhnya;
- desentralisasi dapat menciptakan pemerintahan yang efesien;
- desentralisasi diperlukan karena pemerintahderah dapat lebih banyk dan secara langsung membantu pembangunan tersebut;
Desentralisasi mencakup setiap pergeseran atau perpindahan proses pengambilan keputusan, seperti dikemukakan Maro bahwa desentralisasi mengandung pengertian adanya tranfers atau pemindahan kekuasaan, fungsi-fungsi atau aktivitas-aktivitas dari tingkat nasional ( pusat ) ke tingkat sub nasional ( local ), terutama daerah-daerah, distrik-distrik atau unit-unit administratif lokal dan unit-unit geografis lainnya. Jadi desentralisasi sebagai gagasan yang sarat dengan muatan politik ( Cornelis lay : 226-227 )
Berkaitan dengan isi desentralisasi ada beberapa aliran dan prinsip-prinsip otonomi daerah, Bagir Manan mendefinisikan otonomi sebagai : kebebasan dan kemandirian ( Rijheid dan Zell standing heid ) satuan pemerintahan lebih rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintahan ( Bagir Manan, 1993 : 2 ). Konsep kebebasan dan kemandirian bukan berarti kemerdekaan daerah melainkan dikaitkan dengan ikatan Negara kesatuan. Akibatnya kebebasan daerah harus dalam kerangka menjaga hubungan yang baik dengan pemerintah pusat.
Harapan yang ditumpangkan pada “bahtera” otonomi daerah tidak semuanya terwujud sesuai dengan semangat awal yang dibangun dalam fase awal otonomi daerah. Persoalan-persoalan akibat sisa-sisa yang membengkas dalam pengelolaan sentralisasi sebelumnya tetap saja memberikan implikasi yang serius, misalnya saja cengekeraman pusat terhadap daerah masih terlalu kuat, sebagai contoh kasus adalah pengelolaan potensi alam daerah, masih banyak model praktek bagi hasil yang tidak sesuai dengan semestinya, yang berarti daerah dirugikan secara sepihak dari kesepakatan awal yang telah ditetapkan sebagai bentuk dari semangat otonomi yang diberikan kepada daerah.
Secara substansi Roundinelli : 1983 mengemukakan permasalahan hubungan antara daerah dan pusat yakni :
Political constraints
Secara politik hubungan antara pusat dan daerah terdapat masalah yang serius menyangkut : lemahnya dukungan politik diantara elit nasional, birokrasi, elit lokal dan rakyat, munculnya resistensi birokrasi pemerintah pusat dan munculnya oposisi oleh elit lokal dan elit tradisional, terakhir, elit lokal dan pengusaha tanah sering dibentuk aliansi dengan pejabat pusat dan anggota parlemen untuk bertahan terhadap perkembangan.
Administrative and Operational problems
Sedangkan permasalahan operasional dan administratif menyebabkan munculnya ambiguitas dalam mendesain kebijakan desentralisas
Psychological and Behavional Problems ( Praktikno, 2002 ).
Disamping itu semakin melemahnya kapasitas agen pusat dalam mendukung dan membantu pelaksanaan isi desentralisai dari segi permasalahan tingkah laku dan psikologis yakni munculnya sikap paternalistik dan otoriter pejabat pusat pejabat local harus mengetahui apa selera pejabat pusat, maka sering memunculkan konsep ABS ( Asal Bapak Senang ) dalam menjaga hubungan daerah dengan pusat berkaitan dengan pengawasan, karena dalam Negara Kasatuan hanya ada satu kedaulatan tertinggi ( C.F Strong :Ibid ).
Setumpuk harapan masyarakat telah tertumpah pada otonomi daerah, muncul yang tentunya berasal dari keinginan untuk meraih kemajuan dan kemakmuran kabupaten/kota. Peraturan Daerah (Perda) yang disusun diharapkan lebih peka terhadap aspirasi masyarakat dan mengambil roh dari UU tersebut.
Sementara adanya good governance menjadi wacana yang memberikan arus dalam pengembangan daerah. Terlepas dari berbagai wacana tentang isu governance ataupun eksesnya bagi dinamika pemerintahan, governance menjadi suatu tren yang marak diterapkan di kabupaten/kota sehinga secara tidak langsung menimbulkan kompetisi dari masing-masing daerah untuk maju dan berkembang. Sebuah arus utama yang relatif melegakan bagi hampir semua daerah. Atas kebijakan pemerintahan pusat.
Tata pemerintahan yang baik dengan mengedepankan aspek partisipatif, tranparansi, akuntabilitas publik, dan visi strategis dan berbagai prinsip-prinsip good governance menjadi rujukan daerah dalam menetapkan arah kebijakan pemerintah daerahnya. Setiap daerah “berlomba-lomba” melakukan terobosan efektif guna mencapai tujuan dan cita serta visi pemerintahan yang selaras dengan kehendak publik.
Salah satu daerah yang menjadi cantoh implementatif yang dinilai relatif berhasil adalah Kabupaten Jembrana. Semula daerah ini hanya daerah yang tak banyak dilirik sebagai ekperimentasi daerah berhasil. Namun berkat kegigihan dan inovasi kepala daerah perangkat pemerintahan bersama serta segenap pemberlakuan mekanisme good governance, keadaan menjadi berubah drastis. Jembrana kini menjadi rujukan bagi daerah lainnya.
Paper ini akan coba membahas lebih lanjut bagaimana pemerintahan Kabupaten Jembrana melaksanakan program-progaram yang memacu partisipasi masyarakatnya dalam hal pelayanan publik khusunya pada kajian Jaminan kesehatan Jembrana (JKJ). Pemerintah Jembrana juga mengakui bahwa inspirasi besar dari inovasinya adalah ide welfare state, tentu saja dalam konteks lokal.[2]
2. Otonomi dan Good (Local) Governance
Perpektif good governance mengimplementasikan terjadinya pengurangan peran pemerintah. Good governance menekankan pada pelaksanaan fungsi governing secara bersama-sama oleh pemerintah dan institusi- institusi lain, yakni ORNOP, perusahaan swasta maupun warga negara.
Fungsi governing dijalankan secara balance (setara) dan multi arah (partisipatif). Sebagaimana pandangan Bambang Purwoko tentang implementasi good governance dalam otonomi daerah yang berada pada dua sisi penting yaitu: pertama, sisi output mengenai pelayanan publik yang lebih berkualitas dan lebih terjangkau. Kedua, dilihat dari sisi proses berupa responsif, akuntabel, transparan, partisipatif, efisien, kepastian hukum, dan lain-lain.[3]
Sejalan dengan bagaimana proses-proses implementasi dari pelayanan publik dapat memacu partisipasi masyarakat yang dalam banyak hal mulai mengerti akan hakikat hak dan kewajibannya sebagai warga masyarakat. Disamping itu pemerintah dapat mengimplementasikan program-program yang dicanangkan dari berbagai inovasi strategis. Sinergitas inilah menjadi idaman sehingga membawa pemerintahan semakin efektif dan berkelanjutan.
Meskipun perspektif governance mengimplikasikan terjadinya pengurangan peran pemerintah, tetapi pemerintah sebagai institusi tetap harus mengambil peran. Setidaknya ada 6 (enam) prinsip yang ditawarkan guna mewujudkan governance, yaitu:[4]
a. Dalam kolaborasi yang dibangun, pemerintah tetap bermain sebagai figur kunci namun tidak mendominasi, yang memiliki kapasitas untuk mengkoordinasi (bukan memobilisasi) aktor-aktor pada institusi-institusi semi dan non pemerintah, untuk mencapai tujuan-tujuan publik.
b. Kekuasaan yang dimiliki pemerintah harus ditransformasikan untuk menyelenggarakan kepentingan, memenuhi kebutuhan, dan menyelesaikan masalah publik.
c. Negara, NGO, swasta dan masyarakat lokal merupakan aktor- aktor yang memiliki posisi dan peran yang saling menyeimbangkan.
d. Negara harus mampu mendesain ulang struktur dan kultur organisasinya agar siap menjadi katalisator bagi institusi lainnya untuk menjalin sebuah kemitraan yang kokoh, otonom dan dinamis
e. Negara harus melibatkan semua pilar masyarakat dalam proses kebijakan mulai dari formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan, serta pemberian layanan publik.
f. Negara harus mampu meningkatkan kualitas responsivitas, adaptasi dan akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan kepentingan, pemenuhan kebutuhan dan penyelesaian masalah publik.
Pelibatan seluruh stackeholders (pemerintah, swasta, masyarakat) guna menyelesaikan masalah publik menjadi inti dari governance. Diharapkan dari sinergitas ini dapat tercipta suatu hubungan tanpa dominasi sehingga sasaran utama yaitu kesejahteraan dapat tercapai. Ruang untuk terciptanya governance pun semakin terbuka lebar seiring dengan semangat desentralisasi dan otonomi. Kemauan serta inovasi maju dari elit-elit yang ada di daerah menjadi kunci bagi terwujudnya good (local) governance.
Dalam konteks pemerintahan lokal, pelayanan publik didefinisikan sebagai pelayanan yang diberikan oleh pemerintahan daerah kepada sejumlah orang yang memiliki kesamaan berpikir, perasaan, harapan, sikap, dan tindakan yang benar dan baik berdasarkan nilai-nilai norma yang mereka miliki.[5]
Berangkat dari pemahaman pelayan publik tersebut maka setiap pemerintahan daerah berdasarkan karakter dan norma yang berlaku pada masyarakat memberikan pelayanan dan dengan pelayanan pemerintahan kepada publik diharapkan publik (masyarakat) dapat berperan serta aktif pada program-program pemerintahan.
Pelayanan publik yang prima dalam prosesnya akan berdampak luas bagi masyarakat. Selain dapat menyinergikan kebutuhan masyarakat dengan program pemerintahan juga memungkinkan masyarakat merasa memiliki pemerintahan serta mendapat pengayoman dan perhatian dari pemerintahan. Akibatnya pemerintahan menjadi efektif dan berkesinambungan.
Dalam hal ini Hanif Nurcholis (2005) menuliskan:
“Pemerintahan daerah menjadi produktif karena dengan pelayanan prima kepada rakyat dan stakeholders maka pemerintahan daerah akan 1) mendapat dukungan penuh dar rakyat sehingga makin mantap dan stabil, 2) efektif dan efisien dalam menggunakan semua sumber-daya yang dimiliki, sehingga memberi manfaat yang lebih besar, 3) menciptakan efek multiplier bagi usaha roduktif karena pengusaha, investor, dan semua pelaku ekonomi merasa senang dan puas sehinggaterpicu untuk terus meningkatkan investasi dan produksinya...”[6]
Kemudian Lenvine (1990:188) dalam Agus Dwiyanto (2005) mengemukakan bahwa kualitas pelayanan publik yang ideal setidaknya harus memenuhi 3 (tiga) indikator, yaitu[7] :
1). Responsiveness yaitu daya tanggap penyedia layanan terhadap layanan terhadap harapan, keinginan, aspirasi maupun tuntutan pengguna layanan.
2) Responsibility yaitu suatu ukuran yang menunjukkan seberapa jauh proses pemberian pelayanan publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip atau ketentuan-ketentuan administrasi dan organisasi yang benar yang telah ditetapkan.
3). Accountability yaitu suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar proses penyelenggaraan pelayanan sesuai dengan kepentingan stake holders dan norma-norma yang berkembang dalam masyarakat.
Keberhasilan dari visi menjulang untuk praktek lokal, welfare state dapat dilihat dari empat basis[8] utama sebagaimana pandangan Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo berikut ini:
1. Basis Politik, negara kesejahteraan membutuhkan basis politik kuat yang mampu mewadahi koalisi antarkelompok kepentingan serta dukungan demokrasi parlementer yang matang;
2. Basis Birokrasi, Esping Anderson (1990) menyatakan bahwa adopsi negara kesejahteraan membutuhkan suatu dukungan kapasitas birokrasi yang kuat, sebagai bentuk organisasi yang modern yang efektif dan efisien untuk mengelola jejaring kebijakan sosial yang komprehensif;
3. Basis Tata Kelola Pemerintahan, Indonesia telah mengalami proses perubahan tata kelola pemerintahan yang signifikan sejak pemberlakuan desentralisasi dan otonomi daerah. Pertanyaannya kemudian adalah dapatkah eksperimen yang dilakukan beberapa daerah, seperti Jembrana dan Sinjai, beserta hasil-hasil positifnya direplikasikan secara luas dalam skala nasional?
4. Basis Pembiayaan dan Kerangka Ekonomi, dalam proses implementasinya kombinasi yang tepat antara basis pembiayaan contributory dan non-contributory harus bisa ditemukan.
Dengan demikian kehadiran Welfare State dalam konteks pemerintahan lokal dapat memberikan kontribusi bagi masyarakat yang dinaunginya. Penguatan basis-basis utama dalam lingkar pemerintahan dan sistem yang diterapkan nantinya mewarnai setiap langkah-langkah pembangunan sesuai dengan harapan dan konsensus bersama antar pemerintah dan masyarakatnya.
3. Pembahasan Jembrana tentang JKJ
Jembrana menjadi fenomenal adalah karena pengelolaan daerahnya dalam konteks otonomi daerah yang bisa merealisasikan prinsip-prinsip Good Governance, wajar Jembrana kemudian menjadi kiblat atau parameter bagi daerah-daerah yang lain di Indonesia dalam pengelolaan otonomi daerah. Jembrana dianggap menjadi salah satu penjewantahan Good Governance yang layak menjadi contoh dalam pengelolaan daerahnya. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerahnya seakan mendapat respons yang positif dari masyarakatnya, salah satu indikasinya adalah semakin meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut. Di sisi lain proses akuntabilitas juga berjalan sesuai dengan harapan masyarakat, dan birokrasi seakan menempatkan diri pada posisi yang strategis untuk menjadi abdi masyarakat sehingga dapat memenuhi apa yang dibutuhkan oleh masyarakat setempat.
Terkait dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerahnya, kabupaten Jembrana tidak dapat dipisahkan dari sosok kepemimpinan kepala daerahnya yaitu Bupati I Gede Winasa. Kebijakan-kebijakan yang populis dan pro-rakyat banyak di inisiasi oleh sang kepala daerah, dan pada prakteknya menjadi kebijakan yang bisa menjawab persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Kebijakan-kebijakan itu setidaknya menjadi fakta untuk dijadikan sebagai parameter untuk menilai sejauhmana komitmen kepala daerah terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakatnya
Tercatat mulai tahun 2001 Jembrana mencuat ke permukaan karena beberapa kebijakan daerahnya yang dinilai merupakan suatu langkah maju dalam pembangunan daerah. Respons relatif berhasil dari Jembrana untuk menyediakan layanan dasar masyarakat dengan akses yang terjangkau oleh masyarakat ini tak terlepas dari good will kepala daerah dan institusi lain di Jembrana.
Sejak tahun 2001, Kabupaten Jembrana mulai melakukan evaluasi program kesehatan puskesmas dan rumah sakit terutama dari segi kwalitas pelayanan dan biaya pelayanan kesehatan. Evaluasi dilaksanakan untuk menindak lanjuti keluhan masyarakat yang menyatakan bahwa pelayanan kesehatan di Puskesmas dan Rumah Sakit Negara kurang diminati oleh masyarakat karena kwalitas pelayanannya mengecewakan. Sehingga masyarakat menilai pelayanan swasta lebih meyakinkan, kualitasnya lebih baik, obatnya lebih baik, petugasnya ramah serta gedungnya lebih baik dan bersih.
Mempertegas latar belakang lahirnya kebijakan JKJ ini yang didasari oleh evaluasi kesehatan secara menyeluruh dari Jembrana, maka ada beberapa pointer yang menjadi catatan, sebagai berikut:
1. Pemanfaatan RSUD Negara tidak begitu optimal, rata-rata BOR 58-60%, kunjungan rata-rata di Puskesmas hanya sekitar 30-40 orang per hari. Keluarga miskin hanya 15-20% yang memanfaatkan sarana Rumah Sakit, dan tidak banyak yang memanfaatkan Kartu miskin untuk berobat di Puskesmas dan Rumah Sakit.
2. Bila dilihat pemanfaatan APBD, subsidi obat untuk Puskesmas dan Rumah sakit mencapai 3,5 M pertahun, sementara pendapatan daerah dari sektor kesehatan kurang lebih 1 M, yang dapat dikatakan pendapatan semu (pendapatan kotor).
3. Akhirnya Pemerintah Kabupaten Jembrana menetapkan kebijakan bahwa subsidi pemerintah yang semula untuk obat-obatan RSU dan Puskesmas, dialihkan dan diberikan kepada masyarakat sebagai subsidi premi asuransi kesehatan kepada lembaga asuransi yaitu Lembaga JKJ. (SK Bupati Jembrana No. 31 Tahun 2003).
4. Dengan demikian Puskesmas dan RSU menjadi Swadana, kecuali obat-obat khusus/program disubsidi oleh pemerintah.[9]
Upaya penyelesaian yang dilakukan oleh pemerintah daerah adalah dengan mengeluarkan Kebijakan Jaminan kesehatan Jemrana (JKJ) yang dikeluarkan oleh Bupati selaku kepala daerah melalui keputusan Bupati Nomor 31 Tahun 2003. kebijakan ini tidak saja menunjukkan responsivitas dari pemerintah daerah dalam konteks ini kepala daerah dalam melihat persoalan yang terjadi di masyarakat, tapi juga kejelian efisiensi dan efektifitas yang dilakukan oleh kepala daerah dari kebijakan subsidi sebelumnya. Kebijakan subsidi sebelumnya adalah subsidi biaya obat-obatan untuk Rumah Sakit Negara dan puskesmas, kemudian dialihkan untuk subsidi masyarakat lewat kebijakan JKJ ini. Data sebelumnya menunjukkan efisiensi dari subsidi obat-obatan rumah sakit dan puskesmas menunjukkan antara subsidi dengan pendapatan dari sektor kesehatan sangat timpang.
Subsidi kesehatan diberikan kepada seluruh masyarakat Jembrana dalam bentuk premi untuk biaya rawat jalan tingkat pertama di unit pelayanan kesehatan yang mengikat kontrak kerja dengan Bapel/Badan Penyelenggara JKJ. Tetapi apakah Keputusan Bupati Nomor 31 Tahun 2003 ini benar-benar mencerminkan semangat governance seperti yang didengung-dengungkan?
Pelayanan pemerintah melalui pelayanan kepada publik merupakan fungsi utama dari pemerintahan. Setiap masyarakat berhak menerima pelayanan dari pemerintahan, sebaliknya masyarakat melakukan partisipasi aktif terhadap program-program yang dicanangkan pemerintahan, termasuk pemerintahan daerah. Pelayanan publik berorientasi pada kemampuan pemerintah sebagai pengelola pemerintahan memberikan pelayanan terhadap hak-hak masyarakat.
Dalam perjalanan program JKJ ditunjukkan dengan meningkatnya partisipasi masyaraka, yang menindikasikan komitmen dari pemerintah daerah untuk mengatasi persoalan pada aspek kesehatan masyarakat. Sehingga pemberian subsidi lewat JKJ dengan kelembagaan dan kemitraan yang dibuat oleh pemerintah Jembrana membuktikan komitmennya untuk meningkatkan kesehatan masyarakat Jembrana.
Realitas kebijakan ini, mulai dari tahap awal (responsivitas keluhan masyarakat) sampai pada terbentuknya sistem JKJ menjadi indikasi yang kuat untuk menyatakan komitmen dari kepala daerah dalam realisasi kebijakan ini. Bahkan masyarakat juga diberikan ruang untuk menyalurkan keluhannya apabila tidak mendapat pelayanan selama JKJ berlangsung, misal dengan pengadaan LSM Center yang telah berjalan.
Jenis-Jenis PPK
Subsidi untuk premi ditetapkan sebesar Rp 3 Milyar untuk tahun 2003, 6,7 Milyar untuk tahun 2004 dan tahun 2005 subsidi sebesar 8 Miliar Rupiah. Dengan subsidi premi ini masyarakat Jembrana berhak memiliki kartu keanggotaan JKJ yang dapat digunakan untuk biaya berobat rawat jalan di setiap PPK-1 baik milik pemerintah maupun swasta (Dokter/drg/Bidan/Praktik Swasta/poliklinik Rumah Sakit Swasta kelas D) tanpa dipungut bayaran.
Untuk pelayanan di PPK-1 premi masyarakat disubsidi penuh oleh pemerintah, dimana klaim oleh dokter umum PPK-1 maksimal sebesar Rp. 27.000,- per kali kunjungan yang terdiri dari biaya jasa medis sebesar Rp. 10.000,- obat suntik Rp. 2.000,- dan obat-obatan lainya maksimal Rp. 15.000,- sesuai perhitungan harga obat yang digunakan. Kunjungan ulang dengan diagnose sama hanya boleh di klaim kalau tenggang waktu kunjungan pertama dengan berikutnya minimal 3 hari. Apabila sebelum 3 hari pasien datang lagi dengan kasus yang sama maka segala biaya pengobatan menjadi tanggungan PPK-1 bersangkutan. Diharapkan dapat mengatasi keengganan masyarakat menggunakan subsidi yang telah diberikan pemerintahan daerah sehingga partisipasi masyarakat juga otomatis meningkat.
Dapat dilihat dari runutan proses JKJ pada waktu itu yakni sebagai berikut:
1. Pada tahun 2003 subsisdi untuk premi dianggarkan Rp. 3 M, dapat membiayai premi seluruh penduduk Jembrana sebesar Rp. 1.080,- per bulan per orang. Untuk biaya Program Kesehatan lain di Puskesmas dan RSU masih dibiayai oleh pemerintah.
2. Dengan subsidi premi tersebut masyarakat Jembrana dapat memiliki kartu anggota Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ), yang dapat dimanfaatkan untuk berobat di semua PPK-1, baik di negeri maupun swasta (Dokter/drg/Bidan Praktek/poliklinik swasta/poliklinik RS swasta Kls D) tanpa dipungut biaya. Khusus untuk pelayanan di Bidan, hanya berlaku pelayanan Ante Natal Care dan KB, sesuai dengan kewenangan bidan. Sedangkan pelayanan untuk persalinan, masuk dalam pelayanan rawat inap (PPK-3) pasien harus membayar sesuai tarif atau mengikuti Program JKJ tahap berikutnya. Khusus untuk Gakin dibebaskan dari semua biaya pengobatan dan perawatan baik di PPK-1 swasta maupun pemerintah, PPK-2 RSUD, PPK-3 RSUD dan khusus untuk persalinan di Bidan Swasta biaya persalinan untuk Gakin ditanggung sebesar Rp. 50.000,- sesuai aturan JPS BK dan bodan dapat mengajukan klaim ke lembaga JKJ.
3. Operasional JKJ digerakan oleh Tim Persiapan JKJ dan Bapel JKJ, sesuai dengan SK Bupati Jembrana No. 572 Tahun 2002. Tim Persiapan JKJ mempunayi tugas menyiapkan pengoperasionalan JKJ yaitu : (1) Penyelesaian Administrasi yang berkaitan dengan Lembaga JKJ, (2) Penghitungan besarnya premi dan tarif pelayanan PPK, (3) Sosialisasi dan Advokasi program-program JKJ, (4) Persiapan sisten verifikasi pelayanan kesehatan.[10]
Sebagaimana telah dijelaskan dalam laporan diawal-awal tulisan ini. JKJ menjadi salah satu jawaban yang direspon dengan baik oleh masyarakat Jembrana. Terbukti setelah JKJ berlangsung 3 tahun sejak tahun 2003, tingkat kesehatan masyarakat meningkat secara drastis.
Peningkatan kesehatan masyarakatnya tak terlepas dari inovasi dan gagasan Bupati Winasa yang juga memiliki basic keilmuan dari dunia kesehatan serta aplikasi pemerintahan yang berorientasi pada kebutuhan riil masyarakat. Dari data di bawah ini menunjukkan bahwa umur harapan hidup Jembrana berkisar sampai 71 tahun 3 bulan (2004) yang sebelumnya 70 tahun. Umur harapan hidup yang tinggi, jika dibandingkan daerah lain. Seperti terlihat dalam tabel berikut ini:
Tabel 1: Angka harapan Hidup di Kabupaten Jembrana
Tahun Umur
2001 70
2002 71,1
2003 71,3
2004 71,34
Sumber: Hand Out Pemerintah Kabupaten Jembrana, 4 Desember 2006
Sementara itu dilihat dari tingkat hunian dan angka kesakitan Jembrana dari tahun ke tahun mengalami penurunan yang berarti khususnya dari tahun 2004 dan tahun 2005. sebagaimana terdapat dalam tabel berikut ini:
Tabel 2:
Angka Kesakitan di Kabupaten Jembrana
No.
Keterangan
Tahun
2004
2005
1. Jumlah Pengunjung (2003-2005)
71,012
86,525
74,802
2. Jumlah Penduduk (2003-2005)
251,164
252,065
257,459
3. Angka Kesakitan (2003-2005)
28,27
34,33
29,05
4. Target Indonesia 2010 : 25,25
Sumber: Hand Out Pemerintah Kabupaten Jembrana, 4 Desember 2006
Program JKJ yang dicanangkan tahun 2002 namun efektif tahun 2003 melalui Keputusan Bupati bernomor: 552 tahun 2003 tentang Perubahan atas Keputusan Bupati Jembrana Nomor 572 tahun 2002 tentang Pembentukan Tim Persiapan Jaminan Kesehatan Jembrana. Kemudian disempurnakan dengan Perda nomor 7 tahun 2006 tentang Pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Daerah Kabupaten Jembrana.[11]
Program JKJ menitikberatkan pada tiga spesifikasi sebagai salah satu inovasi pelayanan kesehatan masyarakat bertujuan untuk: 1) meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, 2) pemerataan pemberian pelayanan kesehatan serta 3) menciptakan kompetisi alami antar pemberi pelayanan kesehatan.[12] Dari program JKJ inilah, masyarakat lebih diarahkan memahami hak-haknya dalam pelayanan publik terutama bidang kesehatan.
Berdasarkan wawancara pada saat studi praktek governance di Jembrana menyatakan:
“...Dengan diberikan jaminan kesehatan dengan pelayanan tingkat dasar, derajat kesehatan masyarakat meningkat. Ditandai dengan menurunnya pengunjung rawat inap secara drastis dari (60 persen menjadi 41 persen). Karena setiap ada yang sakit, masyarakat lebih sering menggunakan kartu JKJ langsung ke praktek dokter setempat. Memeriksakan kesehatannya secara berkala bahkan sakit sedikitpun sudah memeriksakan kesehatannya...”[13]
4. Kesimpulan dan Harapan
Setiap masyarakat berhak mendapat jaminan sosial dengan membayar premi yang disubsidi pemerintah daerah sekali dalam setahun dengan mendaftarkan diri disertai bukti KTP. Artinya masyarakat harus proaktif mendaftar melalui unit-unit badan Penyelenggara Jamsosda setempat.
Dari beberapa inisisasi, inovasi dan program JKJ Kabupaten Jembrana dapat dikatakan memberikan inspirasi besar bagi pnegembangan akses publik yang lebih partisipatif dan lebih aktif menghargai kesehatannya.
JKJ dibangun sebagai satu inovasi pilihan untuk meningkatkan kwalitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat Jembrana.
JKJ merupakan satu kreasi atau pengalihan subsidi pembiayaan kesehatan dari subsidi kepada unit pelayanana kesehatan menjadi subsidi kepada masyarakat melalui lembaga Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ), dengan demikian Pemerintah tidak membuat anggaran baru hanya mengalihkan biaya yang sudah ada bahkan dicoba mengalokasikan dibawah alokasi semula.
JKJ akan mengelola pembiayaan kesehatan sedangkan biaya operasional kesehatan lainnya tetap disubsidi seperti semula terutama program yang sifatnya khusus, preventif dan rehabilitatif.
Dengan program JKJ dimungkinkan terjadinya demokratisasi dibidang kesehatan karena masyarakat dapat secara bebas menggunakan saran pelayanan kesehatan yang ada diseluruh Kabupaten Jembrana
[1] Cornelis Lay & Josef Riwu Kaho, Materi Kuliah “Politik Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, PLOD UGM, Yogyakarta, 2006
[2] Paparan dari Pemerintah Kabupaten Jembrana pada forum pertemuan pada kegiatan studi governance Mahasiswa Pascasarjana PLOD, angkatan XII, tanggal 4 Desember 2006.
[3] Bambang Purwoko, Pengembangan Governance dalam Birokrasi Pemerintah, Hand Out Perkuliahan Teori dan Praktek, PLOD UGM, tanggal 12 Oktober 2006.
[4] Disarikan dari Agus Dwiyanto, 2005, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Gadjahmada University Press, Yogyakarta, h.78-83. dengan membandingkannya dengan pandangan AAGN Ari Dwipayana dan Sutoro Eko (Ed) dalam literatur Membangun Good Governance di Desa, 2003, IRE Press, Yogyakarta h. 12-13..
[5] Hanif Nurcholis, Teori dan Praktek Otonomi daerah dan Pemerintahan, Grasindo, Jakarta, tahun 2005, h.178.
[6] Hanif Nurcholis, ibid. h. 186.
[7] Agus Dwiyanto, ibid, h.147.
[8] Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, 2005, Mimpi Negara Kesejahteraan Peranan Negara dalam Produksi dan Alokasi Kesejahteraan, LP3ES-Perkumpulan PraKarsa, Jakarta, h.98-99.
[9] Makalah I Gede Winasa, Bupati Jembrana yang berjudul Paradigma Baru Pemberian Pelayanan Di Daerah, tanpa tahun.
[10] I Gede Winasa, ibid.
[11] Dalam laporan studi praktek governance ini, dikhususkan pembahasannya mengenai JKJ yang menjadi bagian dari Jamsosda dari lima jenis jaminan sosial yaitu: jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Selengkapnya dapat di lihat pasal 21 Perda No. 7 tahun 2006 tentang Pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Daerah Kabupaten Jembrana
[12] I Gede Winasa-Bupati Jembrana, Hand Out Pemerintah Kabupaten Jembrana, 4 Desember 2006
[13] Wawancara bersama Santabudi, SKM-Kepala Badan Penyelenggara Jamsosda, 4 Desember 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar