Oleh : Romi Siska Putra, M.Si
Tanggal 12 Juli lalu, masa kampanye resmi dimulai. Hiruk pikuk Pemilu 2009 kian nyata terasa. Tempat – tempat publik akan ramai dengan atribut beserta kader berbagai macam partai politik (parpol). Mulai dari parpol lama sampai dengan parpol baru akan berebut simpati masyarakat. Seperti biasa, parpol akan memasang wajah manis dengan berbagai macam program meyakinkan untuk menarik simpati para pemilih, ujung-ujungnya berharap parpol mereka akan dipilih ketika pemilu nanti. Sesuai dengan prediksi, parpol peserta akan lebih banyak dibanding pemilu 2004 yang lalu. Kalau pemilu yang lalu hanya 24, maka sekarang sampai dengan 34 parpol (16 lama dan 18 baru). Sebuah bentuk tingginya partisipasi politik masyarakat, mungkin.
Sesuai dengan UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, maka kampanye akan dilaksanakan kira-kira sampai dengan 9 bulan, terhitung semenjak 12 Juli hingga minggu tenang, 3 hari sebelum pemungutan suara, tanggal 9 april 2009. Berbagai kecurangan semasa kampanye sepertinya tidak bisa dihindari, toh selama ini tidak berpengaruh apa-apa bagi parpol yang melanggar, alih-lih dapat sanksi. Namun, sepertinya tidak terlalu menarik untuk membahas masalah pelanggaran kampanye ini. Ada sebuah persoalan yang penting untuk kita cermati, yaitu kepercayaan publik (public trust). Berderetnya kasus korupsi yang menimpa para kader parpol membuat masyarakat mulai tidak pernah berharap lagi dengan parpol, inilah persoalannya, dimana kepercayaan publik akan diuji.
Proses Pilkada yang berlangsung di beberapa daerah belakangan ini bisa menjadi cermin untuk melihat partisipasi publik pada pemilu 2009 nanti. Pilkada sebagai acuan pemilu yang akan datang bisa jadi tidak terlalu salah, karena rentang waktunya yang memang tidak terlalu jauh. Oleh karena itu, mari kita lihat beberapa data tentang partisipasi publik pada beberapa Pilkada tersebut, terutama di beberapa daerah yang memiliki penduduk yang cukup besar. Hasil Pilkada yang ada di DKI, Jawa Barat (Jabar), Sumatera Utara (Sumut), dan Jawa tengah (Jateng) menunjukkan data golongan putih (golput) -untuk menyebut pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya- ternyata cukup besar. Bisa kita lihat berikut ini : DKI (39,2%), Jawa Tengah (40%), Jawa Barat (32,6%), Sumatera Utara (41%). Angka ini cukup fantastis karena hampir mencapai separoh dari yang memilih, bahkan dari beberapa Pilkada tersebut, justru pemenang Pilkada kalah oleh golput. Fenomena yang sungguh ironis, dimana kepercayaan publik menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh parpol. Oleh karena itu, penting untuk mempertanyakan apakah kampanye ini akan bisa mengurangi jumlah golput tersebut? Menarik untuk kita nanti.
Di satu sisi, masa kampanye akan menjadi pertaruhan bagi parpol untuk kembali meyakinkan masyarakat. Sedangkan pada sisi lain, KPK sedang semangat-semangatnya membongkar sarang korupsi di DPR RI, yang notabene adalah tempat berkumpulnya kader-kader “terbaik” parpol. Dua kondisi yang paradoks. Apakah ini yang disebut oleh Anthony Giddens sebagai fenomena paradoks demokrasi. sebuah kondisi dimana lembaga-lembaga demokrasi tersingkir pada titik dimana demokrasi justru semakin marak. Kondisi yang menjelaskan, dimana masyarakat disatu sisi antipati dengan lembaga legislative, pada sisi lain parpol –sebagai pilar demokrasi- justru tumbuh kian subur.
Mengembalikan kepercayaan publik, bisakah?
Perilaku elit politik di senayan seakan makin “gila”. Deretan anggota dewan dalam waktu yang berdekatan menjadi tersangka korupsi. Sepertinya elit politik kita lupa, kalau sekarang ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang harus kita akui cukup bekerja dengan baik. Atau mereka memang sudah tak kuasa lagi menghadapi berlimpahnya harta.
Dalam hal ini, kepercayaan publik seakan berada dibawah kangkang dua kaki yang berbeda, yaitu antara kampanye parpol dan buruknya perilaku politisi (senayan). Dua kaki ini akan saling tarik menarik untuk mempengaruhi kepercayaan publik. Pertanyaannya adalah apakah kepercayaan publik ini bisa dikembalikan, sehingga pemilu 2009 nanti benar-benar akan menjadi pesta demokrasi bagi rakyat negeri ini? atau justru demokrasi di negeri ini akan kehilangan substansi, yaitu (kepercayaan) rakyat. Namun, setidaknya ada beberapa skenario yang bisa dilakukan, yaitu : pertama, KPK dengan alasan menghormati tahapan-tahapan Pemilu, sementara waktu menghentikan penyelidikan korupsi terhadap politisi yang ada di senayan. Atau jangan-jangan pertemuan tertutup KPK dengan Komisi III DPR RI yang lalu membicarakan perihal ini. Apabila terjadi pemberhentian penyidikan oleh KPK, maka setidaknya akan menyetop arus informasi yang negative tentang lembaga legislative tersebut. Akan tetapi, skenario ini sepertinya akan mendapat banyak kritikan dari berbagai pihak, apalagi perang terhadap korupsi lagi memasuki musimnya. Kedua, kampanye simpatik parpol dan menyentuh persoalan yang dihadapi oleh rakyat. Skenario ini, kemungkinan besar akan cukup berhasil, karena tipikal masyarakat kita yang memang belum cukup rasional (dewasa) atau mungkin masyarakat kita terlalu cepat lupa dan kadang penuh rasa iba. Oleh karena itu, kampanye ini akan menjadi taruhan bagi parpol. Atau jangan-jangan parpol akan memperburuk suasana menjelang pemilu. Selama ini, tidak sedikit parpol yang berkampanye justru mengganggu kenyamanan publik, melakukan tindakan anarkis, diperparah dengan terjadinya bentrokan fisik antar masing-masing pendukung parpol. Ketiga, pendidikan politik oleh lembaga independent, misal semacam Lembaga Swadaya masyarakat (LSM). Antisipasi semakin menurunnya kepercayaan publik, bisa saja diarahkan dengan mengajak masyarakat untuk tidak memilih parpol yang kadernya sudah terbukti melakukan korupsi (anti politisi busuk, misalnya). Masyarakat harus diyakinkan bahwa pemilu nanti harus dijadikan momentum untuk membersihkan parlemen dari para politisi busuk. Artinya, tetap menjaga masyarakat untuk tetap memiliki harapan sehingga terjadinya perubahan. Keempat, KPU harus bekerja dengan baik. Belakangan ini, KPU mulai diplesetkan dengan Komisi Penundaan Umum. Istilah ini muncul karena KPU melakukan penundaan beberapa jadwal tahapan pemilu, misal Pemilu legislative yang awalnya 5 April 2009 ditunda menjadi 9 April 2009, berikutnya penundaan pengumuman parpol baru yang lolos ikut pemilu 2009, yang awalnya akan diumumkan pada tanggal 7 Juli 2008 jam 21.00, ternyata baru diumumkan beberapa jam kemudian. Kondisi ini, membuat publik mulai ragu dengan kinerja KPU. Oleh karena itu, KPU sebaiknya belajar dari beberapa kasus penundaan ini, karena penundaan ini akan berimplikasi luas pada kelancaran pemilu nanti. KPU harus sudah menyiapkan pola-pola preventif untuk mencegah terjadinya kekacauan pemilu. Di sisi lain, seluruh elemen bangsa harus memberi dukungan pada KPU, karena toh ini adalah kepentingan kita bersama.
Akhirnya, mungkin agak sulit kita berharap kepercayaan publik benar-benar akan kembali seperti yang kita harapkan. Namun, mungkin yang lebih penting saat ini adalah bagaimana kepercayaan publik tidak kian turun jauh. Dalam konteks ini, KPU dan parpol sepertinya menjadi pemain kunci. Seandainya kinerja KPU kian buruk, dan perilaku kader parpol tidak kunjung membaik, maka jangan pernah berharap publik akan tetap percaya.
Bravo pemilu damai…….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar