
Diringkas dari Disertasi Dr. J.Kristiadi, UGM
Persoalan yang pertama kali muncul adalah apakah ketiga aliran pendekatan tsb (psikologis, sosiologis, dan ekonomis) dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku pemilih masyarakat Indonesia. Tampaknya hal ini tidak mudah dijawab. Sebab, penerapan pendekatan2 tsb di negara2 dimana studi dilakukan masih juga memiliki bagian keterbatasan dan kelemahan. Terlebih lagi kalau pendekatan tsb diterapkan dalam system sosial, politik, budaya yang berbeda seperti Indonesia.
Implementasi pendekatan2 tsb guna memahami perilaku pemilih masyarakat Indonesia tampaknya kurang memadai. Hal ini disebabkan antara lain, konsep kelas dalam masyarakat Indonesia berbeda dengan konsep kelas dalam masyarakat barat yang sangat dipengaruhi oleh paham Marxis dan Weber, dalam arti, masyarakat dibagi menjadi kelas2 menurut criteria ekonomi, dimana masing2 kelas membentuk kelompok, antara lain parpol guna mempertahankan memperjuangkan kepentingannya. Oleh karena itu, sejarah perkembangan parpol di negara barat seperti dinyatakan oleh Duverger, (dalam Amal, ed, 1988) menunjukkan adanya hubungan antara kesejahteraan ekonomi akibat revolusi industri dan tumbuhnya pengelompokan masyarakat, antara lain parpol, yang menjadi penghubung antara sturktur sosial pluralistic dan pemerintah.
Sementara itu, embrio pembentukan partai politik di Indonesia pertama-tama dilakukakn oleh kelompok cendekiawan. Pembentukan lebih didorong oleh kesadaran nasional dengan membentuk organisasi yang pada awalnya non politik sebagaimana Boedi Utomo misalnya. Menurut Kartodirjo (1990) meskipun organisasi tsb tidak sanggup membentuk kesadaran secara konkret karena telah membangkitkan semangat untuk bersatu dan berorganisasi.
Kalaupun di Indonesia terjadi kelas-kelas dalam masyarakat, konsep tsb lebih merupakan pemilahan dari kelompok yang berkuasa (birokrat) dan kelompok yang dikuasai (rakyat), serta pengelompokan berdasarkan loyalitas primordial daripada konsep kelas yang mengacu pada pengelompokan ekonomi. Mungkin satu2nya yang mencoba membangun kekuatan berdasarkan kelas adalah PKI. Tapi menurut Evers (1990) upaya tiu digagalkan oleh kelompok religius dan militer. Oleh karena itu, pendekatan sosiologis tidak dapat sepenuhnya diterapkan di Indonesia. Hal ini harus disesuaikan dengan konteks sosio-kultural masyarakat Indonesia.
Pendekatan psikologis yang dikembangkan oleh kelompok Michigan juga tidak begitu saja bisa diterapkan di Indonesia. Hal ini disebabkam antara lain oleh karena inti pendekatan psikologis yang menitikberatkan pada identifikasi kepartaian, khususnya sikap seseorang terhadap issu politik calon presiden maupun anggota parlemen, adalah variabel2 yang bagi masyarakat Indonesia kurang relevan. Kedua, hal ini tidak pernah bisa berkembang menjadi issu yang mendapat menjadi pilihan masyarakat, sebab iklim politik Indonesia memungkinkan issu politik dan calon2 didominasi oleh satu kekuatan sosial politik tertentu. Namun demikian ada sebagian aspek pendekatan psikologis yang dapat digunakan, yakni identifikasi kepartaian, meskipun secara tidak langsung. Artinya, konsep indentifikasi kepartaian masyarakat akan ditelusuri melalui proses sosialisasi politik dan identifikasi kepartaian pimpinan masyarakatnya.
Pendekatan ekonomis atau rasional tampaknya akan lebih sulit diterapkan dibanding mengingat sebagian besar masyarakat Indonesia belum sepenuhnya memahami pemilu sebagai salah satu mata rantai proses pengambilan keputusan, yang antara lain berupa kebijakan yang secara subyektif dapat dianggap merugikan atau menguntungkan anggota masyarakat. kekurangpahaman masyarakt dalam memahami dan menilai kebijakan politik, tidak memungkinkan menjelaskan perilaku poltik dengan pendekatan ini, kecuali pendekatan ini dilakukan pada kelompok masyarakat kota dan kelompok masyarakat yang mempunyai tingkat pendidikan cukup tinggi.
Berangkat dari paparan diatas, maka ada beberapa catatan penting, yaitu : pertama, pendekatan sosiologis dapat dipergunakan untuk meneliti pemilahan yang secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu : pimpinan dan anggota masyarakat serta sifat hubungan antara kedua kelompok tsb. Selain itu, aspek tingkat pendidikan, jenis profesi, dan tempat tinggal, dll, merupakan aspek2 pendekatan psikologis yang dapat membantu menjelaskan perilaku pemilih masyarakat Indonesia. Sementara itu, pendekatan psikologis diharapkan dapat memberikan perspektif internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai budaya, adapt istiadat yang membentuk budaya poltik masyarakat yang pada gilirannya akan berpengaruh pada perilaku politik. Penggabungan kedua pendekatan tsb disebut pendekatan sosio-kultural. Pendekatan yang inilah yang relative bisa untuk menjelaskan perilaku politik masyarakat Indonesia.
Studi Voting di Indonesia
Penelitian perilaku pemilih di Indonesia, baik yang dilakukan oleh para sarjana barat maupun sarjana Indonesia, meskipun pada umumnya sebagian menyajikan analisis2 yang berdasarkan data empiris tetapi sebagian besar adalah studi yang dilakukan berdasarkan agregasi data hasil pemilu. Masih sangat sedikit penelitian yang menganalisis pemilu secara mendalam sebagai proses pengambilan keputusan seseorang terhadap parpol. Salah satu penelitian tentang perilaku pemilih yang cukup mendalam dilakukan oleh Affan Gafar (1988). Pokok studi ini mengatakan bahwa kecenderungan seseorang untuk mendukung dan memilih parpol tertentu, dipengaruhi oleh identifikasi dirinya terhadap tiga aliran yang dikemukakan oleh Geertz (1960), yakni, Santri, Abangan, dan Priyayi. Mereka yang mengidentfikasi dirinya dengan Santri cenderung untuk memilih partai Islam (PPP), sedangkan yang abangan akan memilih partai non-Islam. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, ditemukan fakta bahwa di beberapa daerah yang berbasiskan daerah santri justru dimenangkan oleh partai Golkar, yang notabene bukan partai Islam. Misal di beberapa kabupaten/kota di NAD dan jawa timur. Dengan demikian, relevansi “tiga pilahan” Geertz sebagai alat analisis politik sudah mulai berkurang. Menurut Mulkan (1984) hal ini disebabkan aspirasi kaum santri telah merembes ke lingkungan birokrasi dna perjuangan politik hanya menjadi salah satu cara untuk memperjuangan kepentingan politiknya. Mulkan melanjutkan bahwa perjuangan melalui politik tidak lagi hanya dilakukan secara langsung mempengaruhi putusan2 politik, tapi juga bisa dilakukan memalui kegiatan sosial kemasyarakatan.
Mengingat pertimbangan2 diatas maka studi voting dalam tesis ini akan dilakukan dengan pendekatan sosio-kultural. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa sejarah suatu bangsa selalu dalam dinamika terus menerus antara kemauan dan mempertahankan perkembangan dan hasrat untuk mempertahankan nilai-nilai, adat istiadat, serta kepercayaan yang dianggap sebagai jati diri masyarakat atau bangsa tersebut.
Di dalam kehidupan politik terdapat nilai-nilai, adat istiadat, kepercayaan yang menjadi acuan sikap dan perilaku poltik masyarakatnya. Keseluruhan itu disebut dengan kebudayaan politik, yang menjadi acuan bagi masyarakat agar berperilaku sesuai dengan system politik bangsa. Kebudayaan politik yang dinamis akan mendorong masyarakat menyesuaikan diri dengan tuntutan dan perkembangan zaman secara terus menerus. Oleh karena itu, akan sangat besar peranan nilai-nilai, adapt istiadat, kepercayaan, serta kebiasaan terhadap sikap dan perilaku politik anggota masyarakat.
Implementasi pendekatan2 tsb guna memahami perilaku pemilih masyarakat Indonesia tampaknya kurang memadai. Hal ini disebabkan antara lain, konsep kelas dalam masyarakat Indonesia berbeda dengan konsep kelas dalam masyarakat barat yang sangat dipengaruhi oleh paham Marxis dan Weber, dalam arti, masyarakat dibagi menjadi kelas2 menurut criteria ekonomi, dimana masing2 kelas membentuk kelompok, antara lain parpol guna mempertahankan memperjuangkan kepentingannya. Oleh karena itu, sejarah perkembangan parpol di negara barat seperti dinyatakan oleh Duverger, (dalam Amal, ed, 1988) menunjukkan adanya hubungan antara kesejahteraan ekonomi akibat revolusi industri dan tumbuhnya pengelompokan masyarakat, antara lain parpol, yang menjadi penghubung antara sturktur sosial pluralistic dan pemerintah.
Sementara itu, embrio pembentukan partai politik di Indonesia pertama-tama dilakukakn oleh kelompok cendekiawan. Pembentukan lebih didorong oleh kesadaran nasional dengan membentuk organisasi yang pada awalnya non politik sebagaimana Boedi Utomo misalnya. Menurut Kartodirjo (1990) meskipun organisasi tsb tidak sanggup membentuk kesadaran secara konkret karena telah membangkitkan semangat untuk bersatu dan berorganisasi.
Kalaupun di Indonesia terjadi kelas-kelas dalam masyarakat, konsep tsb lebih merupakan pemilahan dari kelompok yang berkuasa (birokrat) dan kelompok yang dikuasai (rakyat), serta pengelompokan berdasarkan loyalitas primordial daripada konsep kelas yang mengacu pada pengelompokan ekonomi. Mungkin satu2nya yang mencoba membangun kekuatan berdasarkan kelas adalah PKI. Tapi menurut Evers (1990) upaya tiu digagalkan oleh kelompok religius dan militer. Oleh karena itu, pendekatan sosiologis tidak dapat sepenuhnya diterapkan di Indonesia. Hal ini harus disesuaikan dengan konteks sosio-kultural masyarakat Indonesia.
Pendekatan psikologis yang dikembangkan oleh kelompok Michigan juga tidak begitu saja bisa diterapkan di Indonesia. Hal ini disebabkam antara lain oleh karena inti pendekatan psikologis yang menitikberatkan pada identifikasi kepartaian, khususnya sikap seseorang terhadap issu politik calon presiden maupun anggota parlemen, adalah variabel2 yang bagi masyarakat Indonesia kurang relevan. Kedua, hal ini tidak pernah bisa berkembang menjadi issu yang mendapat menjadi pilihan masyarakat, sebab iklim politik Indonesia memungkinkan issu politik dan calon2 didominasi oleh satu kekuatan sosial politik tertentu. Namun demikian ada sebagian aspek pendekatan psikologis yang dapat digunakan, yakni identifikasi kepartaian, meskipun secara tidak langsung. Artinya, konsep indentifikasi kepartaian masyarakat akan ditelusuri melalui proses sosialisasi politik dan identifikasi kepartaian pimpinan masyarakatnya.
Pendekatan ekonomis atau rasional tampaknya akan lebih sulit diterapkan dibanding mengingat sebagian besar masyarakat Indonesia belum sepenuhnya memahami pemilu sebagai salah satu mata rantai proses pengambilan keputusan, yang antara lain berupa kebijakan yang secara subyektif dapat dianggap merugikan atau menguntungkan anggota masyarakat. kekurangpahaman masyarakt dalam memahami dan menilai kebijakan politik, tidak memungkinkan menjelaskan perilaku poltik dengan pendekatan ini, kecuali pendekatan ini dilakukan pada kelompok masyarakat kota dan kelompok masyarakat yang mempunyai tingkat pendidikan cukup tinggi.
Berangkat dari paparan diatas, maka ada beberapa catatan penting, yaitu : pertama, pendekatan sosiologis dapat dipergunakan untuk meneliti pemilahan yang secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu : pimpinan dan anggota masyarakat serta sifat hubungan antara kedua kelompok tsb. Selain itu, aspek tingkat pendidikan, jenis profesi, dan tempat tinggal, dll, merupakan aspek2 pendekatan psikologis yang dapat membantu menjelaskan perilaku pemilih masyarakat Indonesia. Sementara itu, pendekatan psikologis diharapkan dapat memberikan perspektif internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai budaya, adapt istiadat yang membentuk budaya poltik masyarakat yang pada gilirannya akan berpengaruh pada perilaku politik. Penggabungan kedua pendekatan tsb disebut pendekatan sosio-kultural. Pendekatan yang inilah yang relative bisa untuk menjelaskan perilaku politik masyarakat Indonesia.
Studi Voting di Indonesia
Penelitian perilaku pemilih di Indonesia, baik yang dilakukan oleh para sarjana barat maupun sarjana Indonesia, meskipun pada umumnya sebagian menyajikan analisis2 yang berdasarkan data empiris tetapi sebagian besar adalah studi yang dilakukan berdasarkan agregasi data hasil pemilu. Masih sangat sedikit penelitian yang menganalisis pemilu secara mendalam sebagai proses pengambilan keputusan seseorang terhadap parpol. Salah satu penelitian tentang perilaku pemilih yang cukup mendalam dilakukan oleh Affan Gafar (1988). Pokok studi ini mengatakan bahwa kecenderungan seseorang untuk mendukung dan memilih parpol tertentu, dipengaruhi oleh identifikasi dirinya terhadap tiga aliran yang dikemukakan oleh Geertz (1960), yakni, Santri, Abangan, dan Priyayi. Mereka yang mengidentfikasi dirinya dengan Santri cenderung untuk memilih partai Islam (PPP), sedangkan yang abangan akan memilih partai non-Islam. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, ditemukan fakta bahwa di beberapa daerah yang berbasiskan daerah santri justru dimenangkan oleh partai Golkar, yang notabene bukan partai Islam. Misal di beberapa kabupaten/kota di NAD dan jawa timur. Dengan demikian, relevansi “tiga pilahan” Geertz sebagai alat analisis politik sudah mulai berkurang. Menurut Mulkan (1984) hal ini disebabkan aspirasi kaum santri telah merembes ke lingkungan birokrasi dna perjuangan politik hanya menjadi salah satu cara untuk memperjuangan kepentingan politiknya. Mulkan melanjutkan bahwa perjuangan melalui politik tidak lagi hanya dilakukan secara langsung mempengaruhi putusan2 politik, tapi juga bisa dilakukan memalui kegiatan sosial kemasyarakatan.
Mengingat pertimbangan2 diatas maka studi voting dalam tesis ini akan dilakukan dengan pendekatan sosio-kultural. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa sejarah suatu bangsa selalu dalam dinamika terus menerus antara kemauan dan mempertahankan perkembangan dan hasrat untuk mempertahankan nilai-nilai, adat istiadat, serta kepercayaan yang dianggap sebagai jati diri masyarakat atau bangsa tersebut.
Di dalam kehidupan politik terdapat nilai-nilai, adat istiadat, kepercayaan yang menjadi acuan sikap dan perilaku poltik masyarakatnya. Keseluruhan itu disebut dengan kebudayaan politik, yang menjadi acuan bagi masyarakat agar berperilaku sesuai dengan system politik bangsa. Kebudayaan politik yang dinamis akan mendorong masyarakat menyesuaikan diri dengan tuntutan dan perkembangan zaman secara terus menerus. Oleh karena itu, akan sangat besar peranan nilai-nilai, adapt istiadat, kepercayaan, serta kebiasaan terhadap sikap dan perilaku politik anggota masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar