Kamis, 04 September 2008

Pilihan Politik Duo Indra



(Catatan harian Bang Romi)





Siapa yang tak kenal Indra Piliang dan Indrayana (Deny Indrayana). Indra Piliang adalah pengamat politik dari CSIS yang terkenal itu. Deny Indrayana adalah pengamat hukum tata negara yang kritis itu.
Indra Piliang. Bukan politisi namanya kalau tidak kenal dengan beliau. Kritikan-kritikan tajamnya akan mengena siapapun, selama itu dianggap “melanggar” nilai-nilai demokrasi. Tulisan-tulisannya di berbagai media cetak nasional menjadi bacaan yang menarik untuk didiskusikan. Ulasannya di media elektronik menjadi referensi bagi orang untuk mengetahui kekuatan politik yang ada. Dulu, ketika Golkar dibawah pimpinan Jusuf Kalla mengenyampingkan model konvensi untuk menyaring calon presiden melalui Golkar, Indra Piliang bilang, Golkar sudah tidak demokratis lagi. Bahkan, beliau berani menyimpulkan bahwa ini adalah bentuk kekhawatiran Jusuf Kalla –untuk tidak mengatakan ketidakpercayaan diri Jusuf Kalla- untuk bertarung dengan calon politisi Golkar yang lainnya. Ini adalah cerita masa lalu, sekarang Indra Piliang memutuskan untuk menjadi politisi. Jangan tanya kritikannya pada Jusuf Kalla, nanti bisa jadi nomor urut buncit, atau malah dipecat. Bagi saya, jabatan politisi, berada satu level dibawah orang yang menjadi pengamat para politisi. Politisi adalah milik kelompok tertentu karena dia mewakili kepentingan kelompok juga, tetapi pengamat politisi dia berdiri secara independent diantara berbagai macam perspektif yang ada alias bukan mewakili kepentingan politik tertentu.
Kembali ke Indra Piliang. Salah sosok dari dua sosok yang dikomparasikan ini, menarik untuk dipergunjingkan. Terutama, tentu saja pilihan politiknya saat ini. Indra Piliang, tidak tanggung-tanggung pilihan politiknya adalah maju menjadi calon anggota legislatif (caleg) Golkar dari salah satu Dapil di Sumatera Barat, tempat kelahirannya. Partai politik yang pernah dikritik abis olehnya, justru siapa sangka sekarang menjadi gerbong politiknya menuju Senayan.
Lain Indra Piliang, lain lagi Indra yang satu ini (Deny Indrayana). Doktor lulusan Australia ini sangat sangar. Tercatat sebagai salah satu Doktor termuda di UGM, dengan menyalip senior-seniornya di fakultas hukum UGM. Beliau muncul sebagai icon pemberantasan korupsi di Indonesia. Seandainya, ada yang ingin membedah tentang prospektif pemberantasan korupsi di Indonesia, maka tidak ada pilihan lain, selain beliau ini. Kehadirannya tidak hanya disegani para oleh pengamat hukum yang mendahuluinya, bahkan ditakuti oleh rezim yang berkuasa dan politisi bersama parpolnya. Komentar-komentar pedasnya membuat rezim dan para politisi elus-elus dada. Begitulah sosok Indra yang satu ini. Di salah satu analisisnya, beliau menjelaskan bahwa ada tiga sarang korupsi di Indonesia, yaitu Istana, Tentara, dan China. Tiga sentrum ini dianggapnya menjadi biang tindakan korupsi yang menghancurkan republik ini.
Pilihan politik Indrayana berbeda dengan Indra Piliang. Indrayana memutuskan untuk menerima tawaran menjadi staf ahli hukum presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Rezim yang selama ini menjadi poros kritikannya, justru saat ini beliau memutuskan untuk menjadi bagian darinya.
Pilihan politik duo Indra ini membuat publik terkaget-kaget. Setidaknya ada beberapa catatan yang menarik untuk disimak, berikut ini :
Pertama, sungguh disayangkan pilihan politik duo Indra ini. Bagaimanapun, kita masih butuh orang-orang yang berani untuk mengatakan yang benar itu benar, dan yang salah itu adalah salah. Apalagi, duo Indra ini adalah orang-orang yang selama ini cukup dikenal baik oleh publik sebagai pengamat “oposisi”, bahkan icon pada bidang masing-masing. Proses Check and Balance pada konteks wacana perjalanan roda demokrasi tetap harus terjaga dengan baik.
Kedua, mengukur daya kritis duo Indra ini menjadi penting untuk kita bicarakan. Orang mungkin sepakat dengan kekritisan duo Indra ini terhadap rezim maupun politisi yang merusak dalam mengelola negara ini, sebelum pilihan politik mereka saat ini. Namun saat ini, tentu saja mereka sudah berbeda. Sekritis apapun Indra Piliang, orang tentu akan menyimpulkan bahwa ini adalah bagian dari kepentingan partai Golkar. Sekritis apa pula, Indrayana, orang juga akan bilang “dia kan staf ahli hukum rezim berkuasa.” Sungguh, hilang sudah makna kekritisan mereka akan perbaikan bangsa dan negara ini.
Ketiga, mungkin kita bersikap positif thinking pada duo ini. pilihan masuk system merupakan ijtihad yang harus dihargai. Namun, pilihan itu tetap disayangkan. Bukan apa-apa, sudah banyak pengalaman dari para pengamat politik, ekonom, dan yang lainnya, ketika masuk system justru hanya menjadi corong bagi sang penguasa maupun parpol. Siapa yang tidak sepakat dengan kritisnya lontaran-lontaran dari Andi Malaranggeng (AM) ketika belum menjadi juru bicara presiden. Ketika kebijakan BBM naik, AM yang biasa dikenal vokal justru menjadi orang yang berposisi untuk “memaksa” rakyat untuk menerima dan memahami kebijakan pemerintah. Sungguh, pilihan politik yang sangat disayangkan.
Mungkin inilah keuntungan kita hidup berdemokrasi. Semua orang berhak untuk menjadi apapun, mau jadi Presiden tidak ada yang melarang, mau jadi anggota dewan juga tidak ada yang mempersoalkan. Artis-artis sudah berbondong untuk menjadi anggota dewan, para pengamat juga tak mau kalah, dan ada juga pengamat yang ingin membela rezim yang berkuasa atasnama perbaikan. Semoga saja…karena Negara ini sudah lama menjadi ajang coba-coba. Coba-coba menjadi anggota dewan, malah jadi gila dan stress. Coba-coba korupsi, malah menjadi koruptor benaran.

Tidak ada komentar: